Connect with us

Kisah

Syuraih, Hakim yang Tak Kenal Tawar-menawar

Published

on

Beliau adalah Syuraih bin Al-Harits Al-Kindy. Beliau adalah salah satu hakim yang paling terkenal di awal-awal masa peradaban islam. Beliau adalah keturunan Persia yang bertempat tinggal di Yaman. Beliau hidup di zaman Nabi namun tidak bertemu dengannya, namun beliau adalah salah satu ulama tabiin. Beliau menjadi hakim di Kufah pada zaman Umar, Utsman, Ali, dan Mu’awiyah. Wafat pada tahun 78 Hijriyah.

Ketika Ali bin Abi Thalib menuju ke Shiffiin, beliau kehilangan baju besinya, setelah perang selesai dan beliau kembali ke Kufah, baju besi tersebut dilihat bersama salah seorang yahudi, sehingga beliau berkata padanya, “Baju besi ini milikku, saya belum pernah menjual atau memberikannya kepada siapapun.” Orang yahudi tersebut menjawab, “Ini adalah baju besiku dan ada di tanganku.” Kemudian Ali berkata, “Kalau begitu kita pergi ke hakim.”

Setelah mereka sampai, Ali radhiyallahu ‘anhu maju kesamping Syuraih yang waktu itu ia adalah sebagai hakim dan berkata, “Kalau bukan karena orang yang berselisih denganku itu adalah orang yahudi, niscaya aku akan duduk sejajar dengannya. Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kucilkanlah mereka sebagaimana Allah mengucilkan mereka.”

Kemudian Syuraih berkata, “Katakanlah aduanmu wahai amirul mukminin.” Ali berbicara, “Baju besi yang ada di tangan orang yahudi ini adalah milikku, aku belum pernah menjualnya atau memberinya kepada siapapun.” Kemudian Syuraih berkata, “Sekarang apa yang engkau katakan wahai orang yahudi?” ia menjawab, “Ini adalah baju besiku dan ada di tanganku.” Kemudian Syuraih bertanya, “Apakah engkau memiliki bukti wahai Amirul mukminin?” Ali menjawab, “Ia, Qunbur dan Al-Hasan adalah saksi bahwa beju besi ini milikku.” Syuraih berkata, “Kesaksian dari anak tidak sah bagi ayahnya.” Ali berkata, “Orang yang dijamin mauk surga kesaksiannya tidak diterima? Saya pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda surga.” Disaat itu juga orang yahudi tersebut berkata, “Amirul mukminin mengajakku ke hakimnya, dan ternyata hakimnya memutuskan keputusan yang tidak memihak kepada amirul mukminin, saya bersaksi bahwa (agama) ini adalah yang benar, dan saya bersaksi bahwasanya tiada tuhan (yang berhak disembah dengan benar) selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, besi ini adalah milikmu.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah diatas:

Pertama, pentingnya keadilan bagi seorang muhtasib, dan keadilan adalah lawan kata kezholiman. Allah ta’ala berfirman:

﴿…قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

“…Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am: 152)

Kedua, istiqomah di jalan yang haq dan tidak tawar-menawar.

Tawar-menawar di dalam hukum Allah adalah sesuatu yang tidak dibolehkan sama sekali. Diantara ujian yang berat bagi seorang muhtasib adalah ketika ia dihadapkan dengan keadaan dimana ia harus memilih salah satu antara ridho Allah atau ridho manusia. Lebih berat lagi jika yang bersalah adalah atasannya atau orang-orang yang terdekat dengannya seperti kerabat dan sebagainya. Maka hendaklah seorang muhtasib mengharap ridho Allah semata, dan tidak terperdaya dengan mencari ridho manusia dengan mendatangkan murka Allah ta’ala.

Ketiga, perilaku orang Islam sangat mempengaruhi pandangan nonmuslim terhadap Islam. Dalam kisah diatas, masuk islamnya orang yahudi adalah karena takjubnya kepada keadilan yang dipraktekkan oleh Syuraih. Sehingga ia meyakini bahwa agama yang menganjarkan demikian adalah agama yang benar.


Diringkas dari: http://www.almohtasb.com/main/4796-1.html

Penyusun: Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Lilin dan Seorang Pemuda Suci

Published

on

(Kisah Seorang Pemuda Selamat dari Dosa Zina Lantaran Panasnya Api Lilin yang Dinyalakannya)

***

Ada tujuh kelompok manusia, yang Allah menaungi mereka di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya … (salah satunya) Anak muda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah. [Muttafaq ‘Alaih]

Ini adalah sabda Nabi-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, yang cocok untuk anak muda pahlawan kisah ini, anak muda bersih yang merupakan tokoh dalam riwayat kita ini.

Anak muda ini terdidik di atas keshalihan dan kelurusan sejak kecil, pertama karena karunia Allah, kemudian karena bapak ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang baik. Anak muda ini tumbuh dalam ibadah kepada Allah. Menginjak usia dewasa, keadaannya membuatnya harus meninggalkan rumahnya yang baik demi melanjutkan sekolahnya. Anak muda ini pergi jauh dari kedua bapak ibunya tinggal di sebuah tempat yang kecil.

Orang-orang di komplek anak muda itu tinggal mencintainya, mereka merasa bahagia dengan keberadaannya di tengah-tengah mereka. Anak muda ini adalah teladan dalam kemuliaan akhlak, dan ini yang semakin membuat mereka mencintainya. Anak muda ini gemar membantu mereka dan bergaul dengan mereka dengan baik. Sepertinya anak muda ini mengejar kebaikan yang tersebut dalam sabda Nabi-صلى الله عليه وسلم-,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia

Banyak kalangan membicarakannya, menyanjung, dan memuji akhlaknya yang luhur dan sifatnya yang mulia.

Di komplek tersebut ada seorang gadis belia yang cantik; dia mendengar sanjungan orang-orang kepada pemuda itu, maka dia mengagumi anak muda tersebut, dia selalu mencuri-curi pandang kepadanya, menunggu kesempatan untuk melihatnya, berangan-angan duduk bersamanya, berbincang dengannya dan memandanginya dari dekat.

Gadis ini mulai menyusun rencana untuk bisa memandang anak muda tersebut, dia ingin membuka apa yang terpendam dalam dadanya.

Pada suatu hari, saat pemuda ini berjalan di dekat rumah si gadis, gadis itu memanggilnya, si pemuda melihat kepadanya lalu buru-buru menundukkan pandangannya, kemudian si gadis mengajaknya masuk ke rumahnya dengan berkata, “Ada barang-barang yang kami tidak kuat membawanya. Apakah kamu bersedia membantu kami ? “ Karena pemuda itu dikenal suka berbuat baik dan membantu orang-orang, maka dia tidak menolak. Akan tetapi anak muda itu berkata kepadanya, “Katakan kepada orang-orang di rumah, aku datang.” Dia mundur sedikit.

Pemuda itu membawa apa yang gadis itu tunjuk, kemudian dia keluar dengan segera. Gadis itu menyesalkan mengapa anak muda itu tidak berlama-lama di sisinya. Pandangan sesaat belum memuaskan hasrat gadis ini, dia ingin lebih.

Di sore yang dingin, hujan turun dengan derasnya, pemuda itu duduk di rumahnya sambil mengulang-ulang,

اَللَّهُمَّ غَيْثًا مُغِيْثًا

Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang berkah

Di dekatnya ada lilin, dia membuka-buka sebuah buku. Tiba-tiba pintu rumah diketuk dengan keras. Pemuda tersebut memasang telinganya. Ketukan bertambah keras.  Pemuda ini mendekati pintu dengan heran, siapa yang datang malam-malam begini dalam keadaan hujan deras pula ?

Dia membuka pintu, dan ternyata di depan pintu, gadis itu jatuh luruh ke tanah di bawah kaki pemuda yang tak tahu apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian, gadis itu berbicara, “Aku mengetuk pintu rumahku, namun keluargaku tidak membukanya. Aku datang kepadamu untuk berlindung dari dingin dan hujan.”



Gadis ini masih bersimpuh di tanah. Pemuda ini terpesona dengan kecantikan gadis yang dilihatnya, yang sekarang tergeletak di tanah. Namun dia langsung teringat akan bahaya situasi dan musibah besar yang sedang dialaminya ini. Detak jantungnya bertambah cepat, nafasnya keluar masuk memburu.

Anak muda ini menoleh ke lilin yang dia gunakan untuk menerangi ruangannya. Ia bergegas ke sana, menjulurkan salah satu jarinya ke api, namun dia tidak merasakan apa-apa, tetapi bau daging yang terbakar tercium di ruangan. Gadis itu melihat dengan keadaan sangat cemas dengan apa yang dilihatnya. Setelah beberapa saat, pemuda ini berteriak karena panasnya api lilin. Dia berlari keluar rumah dan meninggalkan si gadis di dalam rumahnya.

Setelah malam beranjak naik hingga berlalu mayoritas waktunya, di mana pemuda ini menghabiskannya di luar rumah, dia kembali ke rumahnya dan tidak melihat gadis tersebut. Pemuda ini mengucapkan hamdalah atas keselamatannya dari situasi dosa tersebut. Dia berkata dalam dirinya, “Bila aku tidak kuat menahan panas api lilin kecil itu, mana mungkin aku kuat menahan api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu?  Tidak, aku tidak akan kuat. Tidak.”

Ketika gadis itu pulang ke rumahnya, dia semakin mencintai pemuda tersebut. Gadis itu sadar bahwa pemuda itu tidak menginginkan dirinya lewat jalan haram. Gadis itu merenungkan bagaimana jalan untuk mendapatkan pemuda itu ? Akhirnya dia berkata, “Aku harus menikah dengannya. Harus!”



Gadis itu berbicara kepada ayahnya tentang pemuda itu dan bahwa dia ingin menikah dengannya. Ayahnya yang memang tidak memiliki harapan yang lebih besar daripada menikahkan putrinya dengan pemuda yang baik dan shalih itu, langsung menemuinya esok paginya. Dia berkata, “Putraku, aku ingin menikahkanmu dengan putriku.” Pemuda itu setuju. Saat itu sang pemuda teringat bahwa barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Saat dia meninggalkan sesuatu yang haram karena takut kepada Allah, maka Allah memberinya sesuatu itu dari jalan yang halal.

Sumber :

Dinukil dari, “Shuwarun Min al-‘Iffah”, Muhammad bin Abdurrahman al-Ajmi, ei, hal. 21-27

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Ketika Dua Kelompok Saling Bunuh

Published

on

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين [الحجرات : 9]

Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya ! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (al-Hujurat : 9)

**

(Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman) baik jumlahnya sedikit atau pun banyak, (berperang), baik yang sedang berperang atau akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara keduanya!) dengan membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum Allah (maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran.

(Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil)[1]   

Syaikh as-Sa’di-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh karenanya hal itu termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosa-dosa besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, begitu pula dalam permasalahan : wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang-orang yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian atau pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka dilindungi (atau tidak menjadi ghanimah/rampasan perang), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta-harta mereka[2]

Sebab Turunnya Ayat

Para ulama berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat ini. Sebab turun yang shahih tercantum dalam hadis berikut :

Diriwayatkan dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-bahwasanya dia berkata, ‘disarankan kepada Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ‘Sebaiknya Anda menemui Abdullah bin Ubaiy.’ Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun pergi dan diikuti oleh kaum Muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menemuinya, berkatalah Abdullah bin Ubaiy, ‘Menjauhlah dariku ! Demi Allah ! Bau keledaimu telah menggangguku.’ Maka berkatalah seorang laki-laki dari Anshar ,’ Demi Allah ! Keledai Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-lebih harum daripada dirimu.’ Kemudian marahlah seorang laki-laki dari kaumnya karena Abdullah diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman laki-laki itu marah karena membela kawannya, dan terjadilah pemukulan dengan pelepah kurma, tangan dan sandal-sandal. Dan kami diberitahukan bahwa karena hal itulah diturunkan ayat,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya ! [3]

Firman-Nya,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya !

Dalam ayat ini Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-masih menamai kedua kelompok tersebut sebagai kaum yang beriman, meskipun sekelompok orang Mukmin yang satu memerangi dan membunuh sekelompok orang Mukmin lainnya. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang membunuh sebagai orang kafir.

Imam al-Bukhari mengatakan, ‘Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menamai mereka sebagai orang-orang yang beriman.’ Ini menunjukkan bahwa imam al-Bukhari memahami bahwa hal tersebut tidak menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama Islam.

Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang membicarakan tentang qishash. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ [البقرة : 178]

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang dimaafkan) mengitu dengan cara yang baik…(Qs. al-Baqarah : 178)

Pada ayat ini Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebut orang yang membunuh sebagai seorang yang beriman dan tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan seiman  pada dirinya dengan firman-Nya,

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ

Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya

Dalam ayat ini, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang lain.

Begitu pula sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

Jangan kalian setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain[4]

Pada hadis ini, meskipun Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menyebut mereka sebagai orang kafir, tetapi Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menganggap sebagian mereka sebagai bagian yang lain. Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang menyebabkan mereka keluar dari agama Islam.

Begitu pula dengan sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-ketika beliau menyebutkan tentang peperangan yang akan terjadi di antara para sahabat :

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

Dan akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin. Kemudian kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq (kebenaran) [5]

Dan kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa setelah ‘Utsman bin Affan-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-wafat, maka terjadilah perselisihan antara pendukung pemerintahan Ali bin Abi Thalib-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-dengan pendukung Mu’awiyah bin Abi Sufyan -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, sehingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar kaum Muslimin.

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-telah mengabarkan hal ini sebelumnya, yaitu tentang cucu beliau yang bernama al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya anakku ini (yaitu, cucu beliau Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-) adalah sayyid (pemimpin). Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin dengan sebabnya [6]

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa peperangan dan bunuh-bunuhan yang terjadi antara dua kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah satu kelompok menjadi orang kafir, keluar dari Islam.

Wallahu A’lam

Sumber :

Majalah as-Sunnah, Edisi : Muharram 1436 H/November 2014 M, hal. 9-11. Dengan sedikit gubahan.

Amar Abdullah bin Syakir

[1] Lihat, Aisarut Tafasir IV/122 dan Tafsir as-Sa’di hal. 800

[2] Tafsir as-Sa’di, hal. 800

[3]  HR. al-Bukhari, no. 2691

[4]  HR. al-Bukhari no. 121 dan Muslim no. 65/223

[5]  HR. Muslim no. 1065/2458

[6]  HR. al-Bukhari, no. 2704

About Author

Continue Reading

baru

Terbunuhnya ‘Utsman bin Affan –radhiyallahu anhu-

Published

on

Munculnya fitnah pada zaman Sahabat terjadi setelah terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab–رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-; masa sebelum wafat beliau ibarat sebuah pintu yang terkunci dari berbagai fitnah. Ketika beliau terbunuh, muncullah berbagai fitnah yang besar, dan muncullah orang-orang yang berseru kepadanya (fitnah) dari kalangan orang yang belum tertanam keimanan dalam hatinya, dan dari kalangan orang-orang Munafik yang sebelumnya menampakkan kebaikan di hadapan manusia, padahal mereka menyembunyikan kejelekan dan makar terhadap agama ini.

Dijelaskan dalam ash-shahihain dari Hudzaifah –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwasanya Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata,

“Siapakah di antara kalian yang hafal sabda Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tentang fitnah ?” Lalu Hudzaefah berkata, “Aku hafal seperti yang beliau sabdakan ?.” (Umar) berkata,”Kemarilah, engkau memang berani.” Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, “Fitnah seorang laki-laki (yang ada) pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya, bisa dihapus dengan shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar.” Beliau (‘Umar) berkata, “Bukan yang ini, akan tetapi yang bergelombang seperti gelombang ombak di lautan.” Dia (Hudzaefah) berkata, “Wahai Amirul Mukminin ! Hal itu tidak jadi masalah bagimu, sesungguhnya di antara engkau dengannya ada pintu yang tertutup.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Pintu itu dibuka atau dirusak?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan dirusak.” Beliau berkata, “Pintu itu pantas untuk tidak ditutup.” Kami (Syaqiq) bertanya, ‘Apakah beliau tahu apakah pintu itu ?’ Dia menjawab, “Betul, sebagaimana (dia tahu) bahwa setelah esok hari ada malam, sesungguhnya aku meriwayatkan hadis dan bukan cerita bohong.’ Lalu kami sungkan untuk bertanya kepadanya, dan kami memerintahkan Masruq agar ia bertanya kepada beliau, lalu dia berkata, “Siapakah pintu itu ?” Dia (Hudzaefah) menjawab, “Umar.” [1]

Itulah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ‘Umar telah terbunuh, pintu telah dirusak, muncullah berbagai fitnah dan terjadilah banyak musibah. Fitnah yang pertama kali muncul adalah terbunuhnya Khalifatur Rasyid, Dzun Nuraini,, ‘Utsman bin ‘Affan oleh para penyeru kejelekan, yang berkumpul untuk menghadapinya dari Irak dan Mesir. Mereka memasuki Madinah dan membunuhnya sementara beliau berada di rumahnya [2]

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menjelaskan kepada ‘Utsman bahwa musibah akan menimpanya, karena itulah beliau bersabar dan melarang para sahabat agar tidak memerangi orang-orang yang membangkang kepadanya, sehingga tidak ada pertumpahan darah karenanya [3]

Dijelaskan dalam hadis Abu Musa al-Asy’ariy, ia berkata,

“Pada suatu hari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-masuk ke sebuah kebun dari kebun-kebun Madinah…lalu datang ‘Utsman, aku berkata, ‘Tunggu dulu ! Sehingga aku memohon izin (kepada Rasulullah) untukmu,’ kemudian Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berkata, ‘Izinkanlah ia, berilah kabar kepadanya dengan Surga, bersamanya ada musibah yang menimpanya. ” [4]

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –mengkhususkan ‘Utsman dengan menyebutkan musibah yang akan menimpanya, padahal Umar pun meninggal dengan terbunuh. Hal itu karena ‘Umar tidak mendapatkan cobaan sebesar yang didapatkan oleh ‘Utsman ; berupa sikap kaumnya yang lancang dan memaksanya untuk melepaskan jabatan kepemimpinan atas tuduhan kezhaliman dan ketidakadilan yang dinisbatkan kepadanya, dan ‘Utsman memberikan penjelasan yang lugas serta bantahan atas pernyataan-pernyataan mereka.[5]

Dengan terbunuhnya Utsman kaum Muslimin menjadi berkelompok-kelompok, terjadilah peperangan antara para sahabat, berbagai fitnah dan hawa nafsu menyebar, banyaknya pertikaian, pendapat menjadi berbeda-beda, dan terjadilah berbagai pertempuran yang membinasakan pada zaman sahabat. Sebelumnya, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-sudah mengetahui fitnah yang akan terjadi pada zaman mereka. Dijelaskan dalam sebuah hadis :

عَنْ أُسَامَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَشْرَفَ عَلَى أُطُمٍ مِنْ آطَامِ الْمَدِينَةِ ثُمَّ قَالَ « هَلْ تَرَوْنَ مَا أَرَى إِنِّى لأَرَى مَوَاقِعَ الْفِتَنِ خِلاَلَ بُيُوتِكُمْ كَمَوَاقِعِ الْقَطْرِ »

Dari Usamah bahwa Nabi pernah memperhatikan sebuah bangunan tinggi dari beberapa bangunan tinggi di Madinah, lalu beliau berkata, ‘Apakah kalian melihat fitnah yang aku lihat ? ‘ Para sahabat menjawab, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku melihat fitnah-fitnah terjadi di antara rumah-rumah kalian bagaikan kucuran air hujan.’ [6]

An-Nawawi berkata, “Penyerupaan dengan kucuran air hujan terjadi pada sesuatu yang banyak dengan cakupannya yang umum, artinya fitnah tersebut banyak dan tidak khusus menimpa satu kelompok. Ini merupakan isyarat adanya peperangan yang terjadi antara mereka, seperti perang jamal, Shiffin, Hurrah (daerah berbatu), pembunuhan ‘Utsman dan al-Husain…dan yang lainnya. Hadis tersebut juga menunjukkan adanya mukizat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-yang nampak.[7]

 

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Asyraatus saa’ah, Yusuf bin ‘Abdillah bin Yusuf al-Wabil

 

Amar Abdullah bin Syakir  

 

[1]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Manaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah (VI/603-604,al-Fath), dan shahih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyratus Saa’ah (XVIII/16-17, Syarh an-Nawawi).

[2]  Lihat perincian itu peristiwa itu dalam kitab al-Bidayah wan Nihaayah (VII/170-191)

[3]  Lihat, al-‘Awashim minal Qawashim (hal.132-137) tahqiq dan ta’liq Muhibbudin al-Khathib

[4]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuuju ka Maujil Bahri (VIII/48, al-Fath)

[5]  Lihat Fathul Baariy (XIII/51)

[6]  Shahih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyratussa’ah

[7]  Syarh Muslim, karya an-Nawawiy (XVIII/8)

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending