Sebagian orang mengatakan, “Berhubung aku belum melaksanakan segala perintah yang diperitah oleh syariat, dan aku juga belum meninggalkan segala perkara yang dilarang syariat, maka wajib bagi ku untuk memperhatikan diri ku sendiri daripada menyeru orang lain agar melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemunkaran“
Sebagian orang juga ada yang mengatakan, “Bukankah Allah mencela orang yang memerintahkan orang lain untuk melakukan kebaikan sementara ia melupakan dirinya sendiri” dalam firmanNya,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ [البقرة : 44]
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah : 44)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3) [الصف : 2، 3]
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Shoff : 2-3)
Saudaraku…
Ketahuilah bahwa;
Pertama,
sebab Allah mencela mereka adalah kerena mereka meninggalkan perkara ma’ruf bukan karena mereka beramar ma’ruf.
Kedua,
meniggalkan salah satu dari dua kewajiban bukan merupakan pembenar untuk meninggalkan kewajiban yang lain.
Ketiga,
bilamana Anda melaksanakan ucapan mereka di atas, sungguh ini berdampak kepada sedikitnya orang yang melakukannya atau bahkan tidak adanya orang yang akan melakukannya atau bahkan hilangnya syariat yang mulia ini, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.
Jadi, wahai sudaraku…
Kedua ayat diatas (QS. Al-Baqarah : 44 dan QS. Shaff : 2-3) yang dijadikan oleh sebagian orang sebagai dalil wajibnya atau lebih baiknya seseorang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar karena adanya kekurangan atau ketidak sempurnaan yang ada pada dirinya, sebenarnya tidak ada didalam ayat tersebut celaan Allah disebabkan karena seseorang melakukan hal yang wajib yang pertama- yakni : amar ma’ruf dan nahi mungkar, namun celaan Allah yang ada dalam ayat tersebut adalah dikarenakan seseorang meninggalkan kewajiban yang kedua, yakni : melakukan perkara yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran. Allah tidak memungkiri karena orang mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran, mengucapkan perkataan-perkataan yang baik. Namun, dalam ayat tersebut Allah mencela disebabkan seseorang melupakan dirinya sendiri, ia meninggalkan perkara ma’ruf yang ia mengajak orang lain untuk melakukannya, ia melakukan perkara munkar yang dia larang orang lain dari melakukannya, dan karena tak adanya realisasi yang selaras dengan perkataan yang baik.
Saudaraku…
Banyak kalangan ahli tafsir secara jelas menyebutkan bahwa celaan dalam ayat di atas adalah disebabkan seseorang meninggalkan perkara yang ma’ruf bukan karena ia beramar ma’ruf. Sebagai contohnya, imam al-Qurthubi –rahimahullah– di dalam menafsirkan firman Allah, yang artinya, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian…” beliau mengatakan, “Ketahuilah -semoga Allah memberimu taufiq- bahwa celaan Allah dalam ayat ini adalah dikarenakan seseorang meninggalkan mengerjakan kebaikan bukan karena ia melakukan amar ma’ruf.” (Tasfir al-Qurthubi, 1/366)
Jadi, wahai saudaraku…
Meniggalkan salah satu dari dua kewajiban bukan merupakan pembenar untuk meninggalkan kewajiban yang lain.
Kedua perkara wajib yang kami sebutkan bukanlah salah satunya menjadi syarat yang lain, sehingga meninggalkan salah satunya berkonsekwesni meninggalkan yang lainnya. Abu Bakar Al-Jashshash mengatakan, “…seseorang yang meninggalkan satu perkara yang wajib tidak menyebabkan gugurnya kewajiban yang lainnya bagi dirinya… (hingga perkataan beliau), maka demikian halnya, orang yang belum melaksanakan semua perkara yang ma’ruf dan belum meninggalkan segala perkara yang mungkar, sesungguhnya kewajiban beramar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah gugur darinya.” (Ahkamul Qur’an, 2/2/33)
Kalaulah saja kita mempersyaratkan orang yang hendak beramar ma’ruf dan nahi munkar hendaknya ia adalah orang yang melakukan segala perintah yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang, niscaya kita akan dapati tak seorang pun yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan demikian kewajiban yang mulia ini hilang. Ulama ummat ini telah memberikan peringatan terkait dengan masalah ini, Sa’id bin Jubair-misalanya, beliau mengatakan, “Kalaulah seandainya, seseorang tidak boleh menyeru kepada yang ma’ruf dan tidak boleh juga mencegah dari yang munkar hingga ia tidak memiliki cacat sedikitpun, niscaya tak seorang pun yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar.” (Dinukil dari tafsir al-Qurthubiy, 1/367-368)
Jadi, saudaraku…
Meski engkau memiliki kekurangan, suggguh engkau tetap wajib melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, terusalah memperbaiki diri, agar apa yang engkau ajak orang lain untuk melakukannya dari perkara-perkara yang ma’ruf, engkau juga melakukannya. Begitu juga apa-apa yang engkau larang orang lain melakukannya dari perkara-perkara yang mungkar engkaupun meninggalkannya.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita. Allahumma Aamiin.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Diringkas dari kitab, “Syubuhaatu Haula al-Amru il Ma’ruuf wan Nahyu ‘Anil Munkari”, karya : Prof. Dr. Fadhl Ilahi.
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet