Connect with us

baru

Virus Corona dan Kelemahan Kita

Published

on

Syariat Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan penjagaan kehidupan dan kesehatan manusia sebagai salah satu kebutuhan yang sangat mendasar, di mana syariat memerintahkan agar hal itu dijaga dan dipelihara serta dikembangkan. Syariat Islam memberikan warning (peringatan) terhadap tindakan menjatuhkan diri ke dalam tempat-tempat yang akan menyebabkan diri binasa. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَلَا تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوْا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-Baqarah : 195)

Maka, manusia-dalam pandangan Islam- merupakan makhluk yang paling agung, paling mulia, paling tinggi, dan paling bagus bentuknya di permukaan bumi ini.  Allah ta’alaberfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs. at-Tiin : 4)

Manusia itu menakjubkan dalam bentuk fisiknya, mengherankan ruhaniyahnya, di dalam dirinya terdapat segudang rahasia yang besar yang tidak terhitung jumlahnya.

Saudaraku…

Corona, merupakan virus yang mencemaskan banyak orang, mulai kemunculannya di asia timur, dan kini ia menjadi perbincangan di banyak media informasi dan media sosial.

Namun, yang tidak layak diragukan bahwa corona merupakan penyakit sebagaimana penyakit-penyakit yang lainnya yang ditakdirkan oleh Allah  ‘Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya kapan saja Dia menghendakinya dan bagaimana pula yang Dia kehendaki. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيْرٌ. لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Qs. al-Hadid : 22-23)

Saudaraku…kaum muslimin

Bagaimana Islam menyikapi penyakit yang menular tersebut cukuplah jelas. Orang yang menderita sakit berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengobati sakitnya sepanjang hal itu mungkin untuk dilakukannya. Jika kemudian ia tidak melakukannya, niscaya ia berdosa karenanya. Ia pun wajib berupaya agar penyakit yang dideritanya tidak menyebar dan menular kepada yang lainnya dengan tidak berbaur dengan orang lain, tidak keluar rumah kecuali untuk suatu keperluan yang mendesak. Hal itu karena, menyakitkan orang lain merupakan tindakan haram, sementara tindakan menimbulkan bahaya kepada orang lain -dengan cara apa pun- terlarang hukumnya secara syar’i.

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, “Tidak boleh membahayakan diri dan tidak boleh pula menimbulkan bahaya pada orang lain.” (HR. Ahmad)

Adapun orang yang tidak sakit, maka wajib atasnya pula untuk tidak mendekat kepada orang yang tengah sakit yang tertimpa penyakit yang menular tersebut. Akan tetapi tentunya hal itu dilakukan dengan cara yang lembut dan lunak tanpa menyakiti perasaannya.

Bahkan, para fuqaha menjelaskan bahwa barang siapa yang tengah mengidap penyakit menular tidak selayaknya ia shalat bersama jama’ah kaum muslimin, dan bahwa termasuk uzur yang membolehkan seseorang untuk meninggalkan shalat berjama’ah adalah setiap penyakit yang menghalangi orang yang tertimpa olehnya untuk menghadiri shalat berjama’ah. Atau, akan menyebabkan para jama’ah lainnya bakal lari darinya, dan begitu pula halnya penyakit-penyakit lainya yang berpotensi bakal menular kepada orang lain.

Saudara-saudaraku yang mulia…

Sunnah Nabawiyah yang suci telah datang dengan berita-berita yang menunjukkan mu’jizatdi zaman di mana kedokteran dan para ahli kesehatan Barat belum tahu akan luasnya makna sesuatu yang terkait dengan makna ‘penularan’, belum pula mereka memiliki pengetahuan yang paling minim sekalipun tentang penyakit-penyakit menular, belum tahu pula tentang teori isolasi kesehatan melainkan beberapa tahun yang lampau. Islam telah meletakkan ‘kaedah isolasi kesehatan’ sejak 1400 tahun silam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ -أَيْ : اَلطَّاعُوْنَ- رِجْزٌ أَوْ عَذَابٌ أَوْ بَقِيَّةُ عَذَابٍ عُذِّبَ بِهِ أُنَاسٌ مِنْ قَبْلِكُمْ، فَإِذَا كَانَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلَا تَخْرُجُوْا مِنْهَا وَإِذَا بَلَغَكُمْ أَنَّهُ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوْهَا

“Sesungguhnya penyakit ini-yakni, “tha’un” merupakan rijzun atau azab atau sisa-sisa azab yang ditimpakan kepada manusia sebelum kalian. Maka dari itu, jika tha’un tersebut berada di suatu daerah sementara kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari daerah tersebut. Dan, jika sampai (berita) kepada kalian bahwa tha’un itu (tengah mewabah) di suatu daerah maka janganlah kalian memasuki daerah tersebut.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

 

الطَّاعُوْنُ غُدَّةٌ كَغُدَّةِ الْبَعِيْرِ، الْمُقِيْمُ بِهَا كَالشَّهِيْدِ، وَالْفَارُّ مِنْهَا كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ

‘Tha’un merupakan gondok seperti gondok unta. Orang yang tetap tinggal di daerah yang tengah menyebar wabah tersebut (lalu ia meninggal dunia karena terkena olehnya) maka ia mati seperti orang yang mati syahid. Dan, orang yang lari darinya, seperti orang yang melarikan diri dari medan tempur (jihad di jalan Allah).” (HR. Ahmad dengan sanad yang jayyid (bagus))

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَا يُوْرِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah sekali-kali seseorang membawa untanya yang tengah sakit kepada unta yang sehat.” (HR. al-Bukhari)

Dan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kepada orang-orang yang sehat untuk tidak membaur dengan orang-orang yang tengah menderita penyakit yang menular.

Ketika datang rombongan Tsaqif, di antara mereka ada seorang lelaki yang tengah menderita penyakit kusta. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan kepada orang tersebut dengan membawa pesan :

إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

“Sesungguhnya kami telah membaiatmu. Maka, pulanglah !” (HR. Muslim)

Wahai tuan-tuan sekalian, tidakkah kalian melihat keagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia ini ?

Sungguh benar Allah Dzat yang Maha Agung yang telah berfirman,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya. Tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. an-Najm : 3-4)

Wahai orang-orang yang diberkahi…

Ada hal yang membedakan seorang Muslim dengan yang lainnya dalam masalah ini, yaitu bahwa dirinya diperintahkan secara syar’i untuk berpegang teguh dengan prinsip ‘isolasi kesehatan’. Sesungguhnya Islam menjadikan dari seorang Muslim itu pengawas dan penghitung atas dirinya dan Islam menghendaki dari hal tersebut agar ia mengikuti perintah dan tidak bermaksiat.

Islam juga memberikan pahala atas hal tersebut kepada siapa yang berpegang teguh dengan prinsip tersebut berupa pahala mati syahid jika ia meninggal dunia dengan berpegang teguh dengan prinsip yang diajarkan oleh Islam dalam aspek kesehatan. Dan, Islam menjadikan hukuman terhadap orang yang lari darinya seperti hukuman  atas orang yang melarikan diri dari medan perang, sebagaimana dalam hadis yang telah lalu,

اَلْمُقِيْمُ بِهَا كَالشَّهِيْدِ، وَالْفَارُّ مِنْهَا كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ

“Orang yang tetap tinggal di daerah yang tengah menyebar wabah tersebut (lalu ia meninggal dunia karena terkena olehnya) maka ia mati seperti orang yang mati syahid. Dan, orang yang lari darinya, seperti orang yang melarikan diri dari medan tempur (jihad di jalan Allah).”

Kaum Muslimin

Tha’un adalah penamaan untuk setiap wabah penyakit umum yang menyebar dengan cepat.

Dzikir dan Doa Merupakan Benteng Penjagaan

Wahai sekalian manusia…!

Seorang Muslim hendaknya mengambil sebab pencegahan penyakit, terlebih ketika wabah penyakit tersebut banyak bermunculan dan telah menyebar ke banyak tempat.

Di antaranya adalah dengan mengamalkan dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُوْلُ فِي صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ : بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، فَيَضُرُّهُ شَيْءٌ

“Tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan (kalimat ini) pada waktu pagi dan malam setiap hari (yakni, setelah terbit fajar dan setelah tenggelam matahari), “Dengan (menyebut nama Allah) Dzat yang tidak akan membahayakan bersama nama-Nya sesuatu pun yang ada di bumi, tidak pula yang ada di langit dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “ sebanyak tiga kali niscaya tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya.” (HR. Ibnu Majah)

Begitu pula berdoa dengan ungkapan yang dianjarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamdalam doanya,

اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي، اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي، اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah !, berilah ‘afiyat pada badanku.

Ya Allah !, berilah ‘afiyat pada pendengaranku.

Ya Allah !, berilah ‘afiyat pada penglihatanku.

Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh syaikh al-Albaniy)

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ، وَالْجُنُوْنِ، وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ

“Ya Allah !, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari (terserang penyakit) al-Barash (kusta), gila dan Judzam (lepra) dan (aku berlindung kepada-Mu) dari keburukan berbagai macam penyakit.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh syaikh al-Albaniy)

Saudaraku, kaum muslimin, rahimakumullah

Dan bila mana Allah ‘Azza wa Jalla menetapkan penyakit yang tengah mewabah tersebut mengenai diri Anda, maka hendaknya Anda berupaya mencari obat dan mengambil sebab kesembuhan yang dijelaskan oleh para dokter di bidangnya. Dan, tindakan ini merupakan bentuk kebaikan tawakkal seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ

“Berobatlah kalian !, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah meletakkan penyakit melainkan Dia meletakkan (pula) obatnya, selain satu penyakit, yaitu al-Harom (menua).” (HR. Abu Dawud)

مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan penyakit melainkan Dia menurunkan pula obatnya, mengetahuinya orang yang mengetahuinya dan tidak mengetahuinya orang yang tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad)

Dan, di antara perkara yang hendaknya dipertegas adalah bahwa seorang Muslim haruslah menjauhkan diri dari menyebarkan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa takut dan gelisah pada diri saudara-saudaranya kaum Muslimin terhadap penyakit tersebut dan hendaknya pula ia mewaspadai adanya berita-berita hoax yang berseliweran untuk melariskan hiruk pikuk akan bahayanya. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dianggap bohong jika ia membicarakan setiap hal yang didengarnya.” (HR. Muslim)

Wahai saudara-saudaraku…kaum Muslimin

Lihatlah oleh kalian virus yang menimpa seseorang, ia tidak terlihat dengan mata telanjang, namun ia menjadi sumber kepanikan. Maka, hendaknya kita belajar dari kodisi ini betapa lemah diri kita dan betapa lemah pula ilmu dan pengetahuan kita, serta betapa rapuh anggota tubuh kita, betapa pun telah datang kepada kita kecanggihan sistem kedokteran modern, ketajaman dalam pemeriksaan, kecepatan dalam mengungkap, datang kepada kita semisal wabah ini (wabah virus corona) agar mengingatkan kita kepada firman-Nya,

وَمَا أُوتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيْلًا

“Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit.” (Qs. al-Isra’ : 85)

وَلِلَّهِ جُنُوْدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

“Dan milik Allah bala tentara langit dan bumi. Dan Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana.” (Qs. al-Fath : 7)

Dan, untuk mengajarkan kepada kita,

وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

“Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Dan ia itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Qs. al-Muddatstsir : 31)

Akhirnya, kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar Dia menjaga kita, menjaga anak-anak kita, pasangan hidup kita, rumah-rumah kita, tempat-tempat perkumpulan kita, dan menjaga masyarakat kaum Muslimin dari setiap wabah, bala dan penyakit. Amin (Redaksi)

Sumber :

Disarikan dari Khutbah Jum’at “Kaifa ‘Aalaja al-Islam Intisyaa-ra al-Aubi-ah”, Ahmad bin Abdillah al-Hazimiy. Dengan gubahan.

https://alsofwa.com/virus-corona-dan-kelemahan-kita/

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Berbagai Kesalahan Orang Berpuasa Bagian – 2

Published

on

By

Alhamdulillah. Pada bagian pertama tulisan ini, telah disebutkan beberapa kesalahan orang yang berpusa, yaitu,

 

1-Tetap Makan Sahur Sampai Mendengar Lafazh Adzan : Hayya ‘Alash Shalah

2-Makan Sahur Lebih Awal

3-Sengaja Minum Saat Adzan Subuh

 

Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang lainnya, yaitu,

 

4-Memajukan Waktu Adzan Subuh

 

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah adzan Subuh beberapa saat sebelum waktunya yang dilakukan sebagian muadzin. Mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Perbuatan mereka ini sangat buruk. Mereka tidak berhak mendapatkan citra baik yang diberikan oleh Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada muadzin, dengan sabda beliau,

اَلْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ

“Muadzin itu dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-)

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Di antara bid’ah munkar yang diada-adakan pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum terbit fajar sekitar 1/3 jam dalam bulan Ramadhan. Demikian juga, mematikan lampu-lampu sebagai tanda larangan makan dan minum bagi siapa saja yang ingin berpuasa. Orang yang mengadakan bid’ah itu mengklaim bahwa itu untuk kehati-hatian dalam beribadah, dan hanya segelintir orang yang tahu hal itu. Perbuatan itu telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali beberapa menit setelah matahari terbenam untuk memantapkan waktu. Dengan keyakinan itu, mereka telah mengakhirkan buka puasa dan menyegerakan makan sahur. Mereka telah menyelisihi sunnah. Karena itu, kebaikan mereka hanya sedikit, sedangkan keburukan mereka bertambah banyak. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.’ [1]

 

Disamping menyelisihi sunnah, memajukan waktu adzan juga menyebabkan seorang muslim terhalang untuk makan yang pada dasarnya itu masih dibolehkan oleh Allah baginya. Akibatnya, shalat sunnah qabliyah dikerjakan sebelum waktunya.

 

5- Merasa berdosa karena lupa Makan dan Minum Saat Berpuasa

 

Sebagian orang terkadang merasa berdosa sekali bila mengingat dirinya telah makan atau minum saat puasa karena faktor lupa. Ia bahkan merasa ragu terhadap keabsahan puasanya. Untuk masalah seperti ini dan semisalnya, perlu dikatakan, bahwa tidak ada dosa seberat biji sawi pun, dan puasa tersebut tetap sah, insya Allah. Hendaklah puasa tersebut tetap disempurnakan. Inilah perdapat yang benar. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وسَقَاهُ

 

“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari) [2]   

 

Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah makanan dan minuman itu sedikit atau banyak.

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Hadis tersebut mengandung makna kelembutan Allah kepada para hamba-Nya dan bentuk kemudahan bagi mereka, serta diangkatnya kesukaran dan kesempitan dari mereka.” [3]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini mengatakan, ‘Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya.

 

Adapun, dalil sempurnanya puasa tapi sudah terlanjur makan karena lupa adalah hadis shahih yang disabakan oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan diriwayatkan Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- :  “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim)

 

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa,

 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا [البقرة : 286]

 

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (al-Baqarah : 286)

Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.”

 

6-Tidak mengingatkan Orang lain yang Makan dan Minum karena lupa

 

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah sebagian orang membiarkan orang lain makan dan minum karena lupa hingga ia menyelesaikannya. Orang yang mengetahui hal itu beranggapan bila orang yang lupa itu diingatkan, maka ia akan terhalang mendapatkan rezeki dari Allah. Orang tersebut tidak sadar kalau sikapnya itu merupakan sebuah kemunkaran dan menyetujui kemungkaran dengan kebodohannya itu.

 

Di sini, kami akan menyampaikan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz yang berkaitan dengan permasalahan ini. Ada orang yang bertanya, “Sebagian orang mengatakan, ‘Bila Anda melihat seorang muslim berpuasa, lalu makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka Anda tidak semestinya mengingatkannya. Sebab, Allah telah memberinya makan dan minum sebagaimana disebutkan dalam hadis. Apakah tindakan ini benar ? Berilah kami fatwa, semoga Anda dibalas pahala.”

 

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Siapa pun yang melihat orang berpuasa yang minum atau makan, atau menelan apa saja pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengingkarinya. Sebab, memperlihatkan makan dan minum pada siang hari bulan puasa adalah bentuk kemungkaran, meskipun pelakunya mempunyai alasan dalam perkara itu. Tujuannya, agar orang-orang tidak akan berani terang-terangan melanggar larangan Allah, dengan makan dan minum pada siang hari bulan puasa dengan alasan lupa.

Bila pelakunya memang jujur dalam hal klaim kelupaannya itu, maka ia tidak mengganti (mengqodha’) puasanya itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi –ضَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -, “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehigga ia pun makan dan minum, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaq ‘Alaih)   

 

Pun demikian dengan musafir (orang yang tengah dalam perjalanan jauh), ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang-orang yang tidak bepergian karena mereka tidak mengetahui statusnya. Ia harus mencari tempat tertutup supaya tidak dituduh melanggar larangan Allah, juga agar orang lain tidak berani berbuat serupa.

 

Orang-orang kafir juga sama, mereka dilarang memperlihatkan makan, minum dan semisalnya di hadapan kaum muslimin. Celah penyepelean ini harus ditutup rapat. Sebab, mereka dilarang menampakkan syi’ar agama mereka yang batil di hadapan kaum Muslimin. Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq. [4]

 

Kami sampaikan juga fatwa Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin terkait masalah ini. Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang hukum makan dan minum karena lupa, apakah orang yang melihat pelakunya wajib mengingatkan puasanya ?

 

Beliau menjawab, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun dalil yang menunjukkan kesempurnaan puasa karena lupa makan adalah hadis shahih yang disabdakan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dan diriwayatkan Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ‘Barangsiapa terlupa sedang ia berpuasa sehingga terlanjur makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnkan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.’ (HR. Muslim)

 

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (al-Baqarah : 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.’

 

Adapun orang yang melihat orang makan dan minum saat berpuasa karena lupa, maka ia wajib mengingatkannya. Karena, ini termasuk mengubah kemungkaran. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ

 

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia  mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya.” (HR. Muslim)

 

Tidak diragukan lagi bahwa tindakan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah bentuk kemunkaran. Akan tetapi, pelakunya dimaafkan bila dalam kondisi lupa karena memang tidak ada sangsi hukuman baginya. Adapun, orang yang melihat perbuatan itu, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengingkarinya.’ [5]

 

Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, ‘Ada sebagian orang yang mengatakan, ‘Kami tidak akan mengingatkan orang yang lupa. Kami tidak akan menghentikan rezeki makanan dan minuman yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.’ Yang benar, orang yang melihat hendaknya mengingatkannya, karena itu wajib hukumnya dan termasuk bentuk amar makruf nahi munkar. Hal yang sama juga berlaku, ketika seseorang melakukan sesuatu yang bisa membatalkan puasa selain makan dan minum karena dianalogikan dengan kedua hal tersebut.” [6]

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, ei, hal. 47-52

 

Catatan :

[1] Fathul Bari, 4/199.

[2] Ibid, 4/155

[3] Ibid, 4/158

[4] Majalah Ad-Da’wah. Edisi : 1186, 30 Sya’ban 1409 H.

[5] Fatawash Shiyam, karya Syaikh Ibnu Jibrin dan Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 27-28

[6] Dinukil dari penjelasan Syaikh Jibrin dalam ulasan singkat tentang buku Manarus Sabil pada 10 Rabi’ul Awal 1406 H.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bersyukur

Published

on

“Apabila nikmat-nikmat berdatangan kepadamu, janganlah engkau mengusirnya dengan kurang bersyukur.” (Ats-Tsa’labi)

 

**

Bersyukur kepada Allah ta’ala merupakan salah satu tujuan puasa dan rahasia pemberlakuan syariat puasa yang dituturkan oleh ayat-ayat puasa :

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [البقرة : 185]

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur

(al-Baqarah : 185)

 

Syukur itu dipanjatkan karena adanya nikmat. Orang seringkali terbiasa dengan adanya nikmat. Karena sudah terbiasa, mereka lupa untuk memanjatkan syukur kepada Allah ta’ala, karena orang umumnya hanya merasakan adanya nikmat dan nilainya, ketika nikmat tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Karenanya, puasa datang untuk kembali mengingatkan orang akan adanya nikmat-nikmat pada dirinya, dan mengajak bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat itu. Firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – :

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ  [النحل : 18]

 

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (An-Nahl : 18)

 

Puasa datang untuk mengingatkan kembali nikmat suap makan dan tegukan minum kepada seseorang, mengingatkan pentingnya kenyang dan puas minum, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersyukur kepada Sang pemberi nikmat, dan tidak berlebihan dalam makan dan minum, juga tidak boros.

 

Di antara perilaku Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-adalah ketika beliau merebah ke tempat tidur, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat makanan yang beliau makan hingga kenyang, nikmat air minum yang membuatnya puas serta menghilangkan dahaga, nikmat tempat bernaung yang memberikan naungan dan hunian bagi beliau. Karenanya beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdoa :

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan, minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh untuknya.” (HR. Muslim)

 

Pada suatu hari, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-makan kurma muda bersama Abu Bakar dan Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما-, serta minum air. Seusai makan, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata :

هَذَا مِنَ النِّعَمِ الَّذِي تُسْأَلُوْنَ عَنْهُ

 

“Ini termasuk di antara nikmat yang kalian kelak akan ditanya tentangnya.” (HR. Ahmad)

 

Lapar mengingatkan Anda pada nikmat suap makanan, dan dahaga membuat Anda merasakan nikmat air minum. Dengan bersyukur, nikmat-nikmat tersebut akan tetap langgeng bertahan.

 

“Siapa dikaruniai syukur, ia tidak terhalang dari tambahan nikmat.”

 

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.37-38.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending