Ramadhan
Wishal dalam Puasa Ramadhan
Dari Anas bin Malik-semoga Allah meridhainya- berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyambung puasa Ramadhan (yakni, melanjutkan puasa hingga malam hari)[1]. Maka ada beberapa orang dari kalangan kaum muslimin yang ikut juga menyambung puasanya. Sampailah hal tersebut kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda, “andai saaja bulan ini diperpanjang untuk kami niscaaya aku akan menyambung puasaku selalu, orang-orarng yang memberat-beratkan diri dibiarkan dalam tindakan mereka memberaatkan diri. (Ketahuilah, wahai orang-orang yang memberat-beratkan dirinya), kalian itu tidak seperti diriku, karena sesungguhnya aku selalu saja diberi makan dan diberi minum oleh tuhanku [2]
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian melakukan wishal ! beliau mengucapkannya sebanyak 3 kali. (Mendegar hal tersebut) Mereka berujar,” (kami melakukan wishal, karena) sesungguhnya Anda melakukan wishal, wahai Rasulullah. Beliau pun bersabda, “tidaklah kalian seperti keadaanku dalam hal tersebut, karena sesungguhnya ketika aku tengah tidur aku diberi asupan makanan dan minuman. Oleh karena itu, lakukanlah amal yang kalian mampu untuk melakukannya.[3]
- Ihtisab di dalam Hadis
Dalam kedua hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang melakukan puasa wishal (berpuasa dua hari atau lebih tanpa berbuka di malam harinya dengan mengonsumsi makanan atau minuman) .
Kedua, kesemangatan seorang muhtasib untuk meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketiga, di antara sifata seorang muhtasib adalah lembut dan penuh kasih sayang
& Penjelasan :
- Berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang melakukan puasa wishal (berpuasa dua hari atau lebih tanpa berbuka di malam harinya dengan mengonsumsi makanan atau minuman)
Para ulama –semoga Allah merahmati mereka-berbeda pendapat tentang hukum larangan melakukan wishal, apakah larangan tersebut hanya berlaku untuk wishal sehari atau dua hari saja; ataukah yang terlarang itu hanya sampai waktu sahur saja. Ibnu Hajar-semoga Allah merahmatinya berkata : dan (sebagian ulama) berdalil dengan beberapa hadis ini bahwa wishal termasuk kekhususan Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahwa selain beliau terlarang melakukan hal tersebut, kecuali dalam kasus yang diberikan keringanan dalam hal tersebut yaitu berupa izin dari beliau untuk melakukannya hanya sampai waktu sahur. Kemudian, mereka juga berbeda pendapat tentang masalah status larangan tersebuut. Ada yang berpendapat larangan tersebut bersifat pengharaman, ada juga yaang berpendapat, hanya makruh saja. Ada juga yang berpendapat, tindakan tersebut haram dilakukan bagi orang yang merasa berat, boleh bagi yang tidak merasa berat. [4]
Secara global, hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan para sahabatnya yang melakukan wishal, beliau memberikan peringatan akan tindakan tersebut, seraya mengatakan : “janganlah kalian melakukan wishal”. Lalu, ketika mereka meengatakan kepada beliau “sesungguhnya Anda melakukan wishal” sebagai ungkapan yang menunjukkan kesemangatan mereka untuk meneladani beliau, beliau pun menjelaskan kepada mereka bahwa mereka tidaklah seperti beliau. Beliau mengatakan, ““tidaklah kalian seperti keadaanku dalam hal tersebut, karena sesungguhnya ketika aku tengah tidur aku diberi asupan makanan dan minuman”. Dalam riwayat lain, beliau bersabda : “siapakah di antaarra kalian yang seperti (keadaan) diriku “ ? [5] pertanyaan ini memberikan faedah celaan yang mengharuskan orang yang mendengarnya untuk menjauhi perkara yang dilarang tersebut. Dan sabda beliau : “seperti (keadaan) ku “, yakni, “ seperti sifatku, atau seperti keadaanku di sisi rabbku [6] kemudian beliau berkata kepada mereka : “Oleh karena itu, lakukanlah amal yang kalian mampu untuk melakukannya” , yakni, ambillah dan pikullah beban yang kalian mampu [7] maka, sebagian sahabat ada yang tetap melakukan wishal. Hal tersebut sampai kepada nabi. Maka beliau terus melakukan wishal hingga mereka melihat hilal Syawwal. Lama waktu beliau melakukan wishal bersama dengan mereka adalah dua hari. Lalu, beliau bersabda : “andai saja bulan ini diperpanjang untuk kami niscaya aku akan menyambung puasaku selalu, orang-orarng yang memberat-beratkan diri dibiarkan dalam tindakan mereka memberatkan diri.” Dalam riwayat lain, [8] Sabda beliau, “ kalaulah mundur waktunya niscaya aku akan tambahkan kepada kalian”, sepertinya beliau tidak senang dengan perbuatan mereka yang enggan untuk berhenti dari melakukan wishal. Maka, seakan-akan tindakan beliau yang terus saja melakukan wishal dan membiarkan mereka tetap melakukan wishal sebagai bentuk cercaan kepada mereka untuk menguatkan warning beliau terhadap mereka, karena bilamana mereka terus saja melakukan wishal tersebut niscaya akan tampak pada mereka hikmah larangan beliau, dan demikian itu tentu akan lebih mengena pada hati mereka. Karena tindakan mereka tersebut berpotensi mengantarkan mereka jatuh ke dalam rasa bosan untuk melakukan ibadah dan akan mengakibatkan kurang maksimalnya di dalam melakukan perkara yang jauh lebih penting daripada itu, seperti shalat, membaca al-Qur’an dan lainnya. Karena kondisi sangat lapar yang terus menerus berpotensi menafikan kesemangatan di dalam menunaikan shalat dan lainnya. Dan beliau telah menjelaskan dengan tegas bahwa tindakan wishal itu merupakan kekhususan bagi beliau, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau : aku dalam hal tersebut tidaklah sama seperti kalian” dan sabda beliau, “ aku tidak seperti kondisi kalian “. Hal ini ditambah dengan adanya anjuran untuk bersegara berbuka (ketika telah tiba waktunya) [9]
- Kesemangatan seorang muhtatasib untuk meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadis ini, di dalamnya terdapat kesemangatan para sahabat Nabi untuk meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- , mereka bersegera untuk melakukan apa yang dilakukan oleh nabi berupa ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. Hanya saja Nabi menjelaskaan kepada mereka bahwa wishal merupakan kekhususan beliau sehingga tidak perlu untuk diteladani. Dan, beliaupun melarang mereka untuk melakukan hal tersebut. Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya- berkata : di dalam hadits tersebut terdapat informasi validnya kekhususan beliau, dan bahwa keumuman firman Allah subhanahu wataa’ala, yang artinya, “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagaimu “ [10] dikhususkan. Dan di dalamnya juga terdapat informasi yang menunjukkan bahawa para sahabat mengembalikan kepada tindakan beliau yang dimaklumi sifatnya, bersegera kepada meneladani tindakan tersebut kecuali dalam hal-hal yang Nabi melarang mereka untuk melakukannya. Dan di dalam hadis ini juga terdapat informasi yang menunjukkan bahwa segala perkara- yang menjadi kekhususan bagi beliau tidaklah ditelaadani. [11]
- Di antara sifat seorang muhtasib adalah lembut dan penuh kasih sayang
Hadis ini juga menunjukkan kelembutan dan kasih sayang Nabi terhadap ummatnya, karena Nabi melarang mereka perkara yang akan membahayakan dan memberatkan mereka dan yang tidak mampu mereka lakukan. Seraya mengatakan “ maka lakukanlah amal yang mampu kalian lakukan” hal demikian itu agar mereka tidak tertimpa kemalasan dan kebosanan untuk melakukan ibadah dan tidak terjatuh ke dalam ketidak optimalan di dalam menunaikan sebagian kewajiban agama [12]
Maka dari itu, hendaknya seorang muhtasib bersikap lemah lembut terhadap dirinya dan terhadap orang yang ia dakwahi, hendaknya tidak membebani diri dan orang lain dengan perkara yang tidak Allah bebankan yang menyebabkan dirinya terjatuh ke dalam tindakan ghuluw (melampoi batas) dalam agama.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bsin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.186-188)
[1] Yakni, puasa dua hari atua lebih tanpa makan dan tanpa minum di antara kedua hari berpuasa tersebut (an-Nihayah, 5/193, Syarh Muslim, imam An-Nawawi, 7/212
[2] Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau : “aku selalu saja diberi makan dan diberi minum oleh tuhanku”, Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi bahwa beliau diberi makanan dan minuman dari sisi Allah, sebagai bentuk karomah bagi beliau di malam-malam puasanya. Dan makanan dan minuman yang berasal dari Surga tidaklah berlaku padanya hukum-hukum taklilf. Yang menjadikan batatalnya puasa adalah makanan yang biasa, adapun yang keluar dari kebiasaan seperti hidangan yang berasal dari Surga, maka tidaklah semakna dengan makanan biasa. Dan tindakan mengonsumsinya tidaklah tergolong ke dalam tindakan-tindakan mengonsumsi (makanan biasa), namun tindakan tersebut sebagai bentuk perolehan pahala, seperti tindakan makan penduduk Surga di dalam Surga. Dan karomah tidaklah membatalkan ibadah. Dengan demikian, hal tersebut tidaklah membatalkann puasa yang tengah dilakukan oleh Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pula memutus wishal beliau, dan tidak pula mengurangi pahala yang diperolehnya. Ada juga yang mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan majaz dari konsekwensi tindakan makan dan minum yaitu, adanya “kekuatan”. Sehingga, seakan-akan beliau mengatakan, (aku diberikan kekuatan) orang yang mengonsumsi makanan dan minuman. Maknanya, bahwa Allah menciptakan di dalam (perut beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam) rasa kenyang sehingga tidak memerlukan asupan makanan dan minuman. Maka, beliau tidak merasakan lapar dan tidak pula merasakan dahaga. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau menyibukkan diri dengan taffakkur (memikirkan) keagungan Allah, jiwanya dipenuhi dengan rasa senantiasa dalam pengawasan-Nya, beliau dikenyangkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang-Nya. Beliau mendapatkan kesejukan pandangan mata dengaan kecintaan kepada-Nya, senantiasa tenggelam dalam bermunajat kepada-Nya, senantiasa menghadapkan hatinya kepada-Nya sesehingga berpaling dari makan dan minum. Dan boleh jadi asupan ini jauh lebih agung ketimbang asupan jasad, siapa yang memili ketajaman perasaan dan pengalaman akan mengetahui ketidak butuhan fisik terhadap banyaknya konsumsi makanan untuk jasad karena adanya asupan hati dan ruh, apalagi keceriaan dan kegembiraan dengan pemintaannya terhadap yang dicintatainya yang menjadikan kesejukan pandangan matanya, sebagaimana kata pujangga ini,
Yang terakhir ini, merupakan syair yang didendangkan oleh ibnu Qayyim al-Jauziyah-semoga Allah merahmatinya-. Lihat, Syarh Shahih al-Bukhari, karya : Ibnu Baththal, 4/111; Syarh Muslim, karya : imam an-Nawawi, 7/213, Fathul Baariy, karya : Ibnu Hajar, 4/244; Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya : Ibnu Katsir , 1/2301, Umdatul Qari’, karya : al-‘Ainiy, 11/72, ad-Diibaaj ‘Ala Muslim, karya : imam as-Suyuthiy, 3/202; Syarh az-Zarqaniy, 2/181. Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Bukhari,13/237, hadis no. 7241; Muslim , 7/215, hadis no. 2566.
[3] Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, 4/242, hadis no. 1966, Muslim 7/213, hadis no. 2562. Dan, Lihat, Shahih Ibnu Khuzaemah, hadis-hadis dengan no. 2068-2069-2072
[4] Fathul Baariy, 4/240. Lihat juga, Umdatul Qariy, karya : al-‘Ainiy, 11/72, Syarh Muslim, karya : imam an-Nawawi, 7/213, al-Mufhim, karya : imam al-Qurthubiy, 3/160
[5] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, 4/240, hadis no. 1965, Muslim, 7/212, hadis 2561.
[6] Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 4/340
[7] Lihat, Fathul Baariy, Ibnu Hajar,4/245, Syarh Muslim, imam an-Nawawi, 7/213
[8] Al-Bukhari, 4/240, hadis no. 1965.
[9] Fathul Baariy, Ibnu hajarr, 4/241
[10] Qs. Al-Ahzab : 21
[11] Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 4/242
[12] Syarh Musllim, imam an-Nawawi, 7/213
Nasihat
Saat Idul Fitri Menjelang **
Saat Idul Fitri Menjelang
**
Terakhir, inilah perasaan seorang muslim di pagi hari raya Idul Fitri. Ia menuturkan :
“Aku ingat pagi hari Idul Fithri, kutemui anak-anak yang yatim. Tidak ada yang mau mencium mereka. Bahkan sekedar memberikan senyum untuk mereka. Aku ingat di pagi hari Idul Fithri aku bersama para janda, yang tidak bisa lagi merasakan kelembutan, juga kerinduan kepada suami mereka. Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita semua menikmati hidangan makanan enak dan minuman segar yang dapat menghilangkan lapar.
Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita berkumpul bersama dari semua umur, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sementara ada saudara kita (semisal di Palestina) yang waktunya terampas oleh peperangan. Tak ada kenyamanan, ketenangan dan rasa aman. Hari raya mereka hanyalah linangan air mata, kesedihan serta kenangan seperti dipenjara.
Pada saat yang sama aku mengenakan baju baru, mengunjungi sanak-kerabat di sana-sini, menikmati makanan dan minuman…aku tertawa dan bercanda.
Tetapi, perasaan sebagai satu bagian utuh sebuah tubuh dan rasa persaudaraan tumbuh kuat dalam diriku. Aku tak akan melupakan mereka. Kalaupun aku tertawa, ada guratan duka menoreh wajahku. Lisanku bergetar melantunkan doa bagi mereka. Aku pun menceritakan keadaan mereka kepada keluarga dan tetanggaku.
Lisanku selalu berdoa untuk mereka, dimana keluarga dan tetanggaku menggunjingkan mereka…
Dalam Shahih Muslim disebutkan :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
‘Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih sayang dan kecintaan mereka ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh mengadu kesakitan maka semua anggota tubuh yang lain akan ikut demam dan terjaga semalaman.’
Barang siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan ini kembali kepada dirinya sendiri ; barang siapa yang tinggi cita-citanya maka kebaikan akan mengikutinya; namun barang siapa yang rendah cita-citanya maka kehinaan akan selalu mengikutinya…
Kusucikan cita-citaku dari apa-apa yang dilarang Allah
Menuju bulan yang khusyuk dengan berbekal kekhusukan,
bulan yang suci, dengan bekal amal sholeh…
Orang-orang yang berpuasa dengan istiqamah
akan mendapatkan tempat yang kekal dan didampingi bidadari yang menyenangkan
Penuh ampunan dari yang Maha Agung dengan kekuasaan-Nya yang besar
Wahai saudaraku, segeralah bangkit beramal
sebelum Ramadhan pergi
Semoga Allah Yang Maha Pengasih menghapus semua dosa-dosaku
dan mengampuni kesalahanku sebelum di buku kejelekanku…
Amin
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ruhaniyyatush Shiyam, Dr. Ibrahim ad-Duwaisy, ei, hal. 49-51.
Nasihat
Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran **
Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran
**
“Ar-Rusyd adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.”
**
Ar-Rusyd adalah tujuan ketiga di antara tujuan-tujuan disyariatkannya puasa, dan salah satu rahasia diwajibkannya puasa. Allah ta’ala berfirman di akhir ayat-ayat puasa :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ [البقرة : 186]
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah : 186)
Kebenaran yang merupakan salah satu buah puasa, dinilai sebagai sifat positif dan penting bagi kepribadian seorang muslim, yang memberinya keseimbangan jiwa, pikiran, perasaan, dan emosi, serta membebaskannya dari segala fenomena yang memperburuk kepribadian insan modern yang tidak tumbuh berkembang di sela-sela al-Qur’an dan tidak mengikuti hukum-hukumnya, sehingga kepribadiannya terserang kelemahan, kepolosan, kelalaian, egoisme, atau kesedihan, seperti yang dituturkan oleh Dr. Shalah al-Khalidi.
Ayat ini mengandung penjelasan tentang jalan yang mengantarkan kepada kebenaran, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada Allah ta’ala, dan memenuhi perintah-Nya, termasuk di antaranya berpuasa Ramadhan.
Ada yang mengatakan, ar-Rusyd adalah istiqamah di dalam agama.
Fenomena-fenomena Kebenaran yang Diwujudkan Puasa
Di antara fenomena-fenomena kebenaran adalah istiqamah di dalam agama dan tetap berada di atas agama. Dan di antara fenomena-fenomena kebenaran yang diwujudkan puasa bagi seorang muslim adalah :
Pertama, kebenaran penglihatan. Kebenaran ini terwujud dengan menundukkan dan menahan penglihatan untuk leluasa memandang segala hal yang tercela atau terlarang, dan juga hal-hal yang dapat menyibukkan dan melenakan hati dari mengingat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.
Kebenaran ini terwujud dengan berlama-lama menatap al-Qur’an dengan membaca dan merenungkannya, serta menahan penglihatan dari memandang apa yang Allah haramkan, agar tidak menciderai puasa.
Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Dengan apakah aku bisa menundukkan pandangan dengan mudah ?’ Al-Junaid menjawab, ‘Dengan kau mengetahui bahwa Allah melihatmu, di mana penglihatan-Nya kepadamu lebih cepat dari penglihatanmu kepada objek yang engkau lihat.”
“Menundukkan penglihatan dari apa yang diharamkan Allah, akan mendatangkan cinta Allah.” (al-Hasan bin Mujahid)
Kedua, kebenaran lisan. Kebenaran ini terwujud dengan menjaga lisan dari kata-kata ngelantur tidak jelas, dusta, adu domba, ghibah, tutur kata kotor, kasar, permusuhan, dan perdebatan, tetap diam, menyibukkannya dengan dzikir menyebut Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an. Ini merupakan puasanya lisan.
Kebenaran ini muncul sebagai dampak alami yang didapatkan siapa yang selalu membasahkan lisannya dengan mengingat Allah, membiasakannya jauh dari segala kata dan ucapan-ucapan yang dapat melukai puasanya. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ
Pada hari ketika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan janganlah (pula) berteriak-teriak (HR. al-Bukhari)
“Puasa itu tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan diri dari dusta, kebatilan, kata-kata sia-sia, dan sumpah.” (Umar bin Khaththab- رًضِيَ اللهُ عَنْهُ)
Ketiga, kebenaran telinga. Kebenaran ini terwujud dengan mencegah telinga dari mendengar apa saja yang dibenci Allah karena apa saja yang diharamkan diucapkan, haram pula didengarkan. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik bagi siapa yang terbiasa mendengarkan al-Qur’an dan nasihat-nasihat di bulan Ramadhan, serta mendengarkan segala yang membawa manfaat dari kebaikan, juga menutup telinga dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.
“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa.” (Jabir bin Abdillah-رًضِيَ اللهُ عَنْهُمَا)
Ketiga, kebenaran otak. Kebenaran ini terwujud dengan meraih ilmu dan pengetahuan, serta menyibukkan otak dengan ibadah merenungkan nikmat-nikmat dan makhluk-makhluk Allah, serta menggunakannya untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik mendalami perkara-perkara agama, khususnya puasa, semangat mendengarkan ceramah dan pelajaran. Juga sebagai buah baik menggunakan akal dalam merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca dalam kitab-Nya, dan merenungkan ayat-ayat yang nampak nyata di alam semesta-Nya.
Ummu Darda’ ditanya, ‘Apakah amalan terbaik Abu Ad-Darda’ ?” Ia menjawab, “Berpikir dan memetik pelajaran.”
“Berpikir itu cahaya, lalai itu kegelapan, kebodohan itu kesesatan, dan ilmu itu kehidupan.” (Orang bijak)
Keempat, kebenaran tubuh. Kebenaran ini terwujud dengan tidak memperbanyak makan meski halal sekalipun, dan menahan diri dari segala syubhat yang mubah manakala Allah memerintahkannya, karena tujuan dari puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan syahwat hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi kuat untuk bertakwa.
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثُ طَعَامٍ وَثُلُثُ شَرَابٍ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ
Cukuplah beberapa suap makan bagi anak Adam untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika pun harus menambah, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Imam Ahmad)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.42-45.
Nasihat
Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H
Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H
Ramadhan 1445 H telah sampai ke penghujungnya, bulan nan mulia penuh ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sekali lagi akan pergi meninggalkan kita semua, namun semoga kepergiannya tidak dengan membawa semua ketaatan dan perubahan positif pada diri kita selama sebulan ini, akan tetapi dia pergi dengan membawa kebiasaan buruk kita di bulan-bulan sebelumnya.
Semua ini karena memang manfaat kewajiban puasa ramadhan adalah agar kita menjadi bertakwa, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Albaqarah: 183)
Dan Takwa adalah menjalankan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Namun, di sisa hari yang ada, maksimalkanlah kesempatan yang ada, dengan shalat 5 waktu, terawih, tilawah dan itikaf.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Dan haditnya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Dan perbanyaklah doa berikut ini pada setiap harinya:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: “قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“
(صَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ)
Artinya, “Dari sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, ia pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mengerti sebuah malam itu adalah lailatul qadar. Bagaimana doa yang harus kubaca?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bacalah, ‘Allāhumma innaka afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah aku),’’” (Hadits ini diakui shahih oleh Imam A-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Dan terakhir, agar tidak lupa menunaikan zakat fitrah bagi yang mampu, karena hukumnya wajib dan dia merupakan bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat materi dan juga sebagai sarana untuk saling berbagi dengan sesama muslim yang membutuhkan.
Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
(QS Attaubah: 60)
Terakhir, semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita selama bulan ramadhan ini dan mengampuni dosa-dosa kita semua, serta semoga Allah Ta’ala memanjangkan umur kita agar kembali dapat menemui ramadhan tahun depan, Aamiin.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah