Connect with us

Akhlak

Pacaran yang Dibolehkan

Published

on

Adapun pacaran yang dibolehkan yaitu apabila hubungan khusus dua insan berlainan jenis yang bukan mahram yang terjalin atas dasar cinta dan kasih sayang telah diikat dengan akad pernikahan. Inilah hakekat pacaran dalam Islam. Jadi pacaran islami, atau pacaran ala islam ialah hubungan setelah terjadinya akad ijab qabul.

Dalam arti kemesraan dan keterikatan batin terhadap pasangannya berjalan di atas rel yang lurus dan jalur yang dibenarkan oleh syariat serta telah dihalalkan oleh syariat lewat akad suci pernikahan.

Dengan ikatan inilah perkara-perkara yang sebelumnya haram menjadi halal. Bahkan keduanya lebih leluasa dan bebas untuk melakukan apa saja dari apa yang sekedar dilakukan oleh mereka yang tenggelam dalam kubangan pacaran terlarang.

Namun, apabila istilah ‘pacaran islami’ sebagaimana yang dipahami oleh sebagian pemuda pemudi yang katanya hendak tampil beda dengan pacaran orang-orang awam bahwa pacaran yang islami adalah pacaran sebelum pernikahan yang tidak disertai bersentuhan, tidak berciuman dan yang lainnya. Intinya tidak ada kontak fisik antara dua pasangan. Masing-masing saling menjaga diri. Kalaupun harus bertemu dan berbincang, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang tema-tema Islami, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Allah serta saling mengingatkan tentang akhirat, Surga dan Neraka.

Pacaran yang diembel-embeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar tipuan setan untuk menjebak agar mangsanya jatuh ke dalam dosa.
Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram, yakni memandang wanita atau laki-laki yang bukan mahramnya ? Siapakah yang bisa menjamin bahwa mereka akan selamat dari godaan setan ketika menjalin komunikasi dengan sang pacar yang notabene adalah lawan jenis yang tidak halal baginya ?

Jika mereka mengatakan hal itu adalah pacaran Islami, namun intensitas hubungan mereka dengan lawan jenisnya sangat sering baik melalui telepon, sms, chatting, twitter, facebook, line, whatsapp, email dan lain sebagainya yang demikian itu sama saja dengan pacaran orang-orang awam. Hanya saja dikemas dalam bentuk yang berbeda, lebih halus, dan sepintas lebih Islami.

Secara pribadi penulis tidaklah setuju mengenai kesimpulan penggunaan istilah pacaran yang halal atau dibolehkan, meskipun ia dimaksudkan untuk mereka yang telah mengikat cinta kasihnya dengan tali suci pernikahan.
Atau pacaran yang halal ialah hakekat dari pernikahan itu sendiri. Demikian juga penggunaan istilah pacaran islami yang dimaksudkan sebagai model pacaran yang tidak mengandung unsur-unsur keharaman di dalamnya, seperti khalwat, bergandengan tangan, atau yang semisalnya.
Penggunaan kata pacaran itu sendiri sudah identik dengan aktivitas yang mengandung perkara-perkara haram dan terlarang dalam Islam. Pacaran juga merupakan istilah yang sedari awalnya terbentuk untuk menggambarkan hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan. Lihatlah definisi kata pacaran dalam beberapa Kamus Besar Bahasa Indonesia, semuanya dimaksudkan sebagai hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan.

Jadi, dari mana kesimpulan bahwa pacaran ialah hakikat dari pernikahan itu sendiri. Ini adalah kesimpulan yang tidak berdasar sama sekali, baik secara bahasa maupun syariat. Demikian juga, Islam tidak pernah mengatakan bahwa pacaran adalah hakikat dari sebuah pernikahan. Bahkan, kalau kita telisik lebih mendalam, dalam Islam tidaklah pernah mengenal istilah kata pacaran. Padahal syariat Islam telah sempurna semenjak wafatnya Rasulullah yang tidak butuh tambahan maupun pengurangan di dalamnya. Oleh karena itu, istilah pacaran bukanlah bersumber dari Islam.

Demikian pula istilah pacaran Islami, dari mana mereka bisa menyimpulkan istilah ini dan menisbatkannya sebagai bagian dari Islam. Membuat konsep tersendiri yang sejatinya masih banyak hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan menghukumi sebagai sesuatu yang halal. Kalau demikian berarti mereka telah membuat syariat baru dalam Islam, padahal Allah telah berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Qs. An-Nahl : 116)

Itulah posisi ‘pacaran islami’ dalam Islam. Semua itu dimaksudkan agar tidak tercampur antara kebaikan dan keburukan, atau yang hak dan yang batil akibat penggunaan istilah yang kurang tepat. Juga agar tidak menjadi hujjah maupun tameng bagi sebagian orang untuk menghalalkan pacaran atau berlindung dibalik istilah ‘pacaran islami’ agar tetap bisa melakukan pacaran dengan lawan jenis yang disukainya.

Demikian juga, dikhawatirkan akan bermunculan istilah-istilah yang kurang tepat yang semula istilah-istilah itu identik dengan keburukan maupun perbuatan haram, seperti munculnya istilah musik islami, joged islami, nasyid islami, khamr islami, lagu islami, atau istilah-istilah lain yang sejenisnya yang dinisbatkan pada Islam yang akhirnya akan membuat kerancuan di tengah-tengah umat islam dan menjadi sebab tercampurnya antara yang hak dengan yang batil.

Kalau diperhatikan lebih mendalam, mereka yang terjerumus dalam apa yang disebut ‘pacaran islami’ belum sepenuhnya mengindahkan batasan-batasan syar’i yang telah ditetapkan syariat Islam. Seperti hubungan yang akrab dan dekat di antara mereka yang sejatinya bukanlah mahramnya, kerap melakukan komunikasi walaupun tanpa adanya kontak fisik di dalamnya. Kasus ini tetap tidak dibenarkan dalam syariat karena mereka belum terikat oleh tali suci pernikahan dan mereka masih berstatus orang asing antara yang satu dengan yang lainnya.

Islam juga tidak pernah mengakui pacaran sebagai tahapan yang sah/halal untuk menuju jenjang pernikahan. Karena Islam telah memiliki konsep sendiri yang suci untuk memandu dan mengantarkan asmara mereka ke jenjang tali suci pernikahan. Di mana konsep itu adalah aturan yang selaras dengan fithrah manusia itu sendiri.

Islam tidaklah pernah melegalkan semua jenis hubungan cinta kasih antara dua insan berlainan jenis yang bukan mahramnya yang dikemas dalam kata pacaran ataupun istilah lain yang substansinya sama dengan pacaran, kecuali sekedar mencintai mereka atas dasar saudara seiman dan seislam yang terikat oleh kecintaan karena Allah dengan tetap mengindahkan pilar-pilar syariat yang mulia tersebut.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ …وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari di mana tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya…dua orang yang saling mencintai karena Allah. Keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah … (HR. Al-Bukhari (660), Muslim, (2427), at-Tirmidzi, (2391), an-Nasai (5380) dan Ahmad (9663).

Adapun dilarangnya pacaran sebelum pernikahan, dikarenakan pacaran yang bertentangan dengan syariat Islam, dan banyaknya mudharat yang bisa merusak kehidupan dan masa depan remaja, keluarga, lingkungan, umat, bangsa dan agama. Semua ini tidak sejalan dengan prinsip dasar islam di mana ia datang demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat universal (menyeluruh) dan konprehensip (utuh) agar pilar-pilar kehidupan tetap tegak dan kokoh demi terwujudnya kebaikan yang semuanya kembali kepada kepentingan umat manusia itu sendiri, baik di dunia maupun akhirat.

Wallahu A’lam

Sumber :
Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.17-21

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Akhlak

Biasakanlah Mengatakan, “Maaf, Aku yang Salah”

Published

on

Salah bisa terjadi dari siapa pun, tidak ada yang Ma’shum darinya, sebagaimana Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ . وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ اَلتَّوَّابُوْنَ

“Setiap manusia banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang banyak bertaubat. [1]

Namun masalahnya adalah saat suami atau istri tahu dirinya salah, tetapi ngotot mempertahankan kesalahannya dan menolak mengakuinya, dengan alasan bahwa mengaku bersalah di hadapan pasangan akan membuat pasangan lancang terhadapnya dan membuat kehormatannya jatuh; inilah asumsi keliru yang dihiasi oleh setan.

Wahai suami-istri!

Bayangkan seseorang  berbuat salah terhadap kalian, kemudian dia datang mengakuinya dan meminta maaf, apakah masih ada ganjalan dalam jiwa terhadapnya ?

Saya hampir memastikan bahwa kedudukan orang ini di mata kalian berdua akan menjadi lebih baik dari sebelumnya saat kesalahan itu belum terjadi. Berapa banyak kesalahan menjadi awal hubungan yang akrab di antara dua orang, manakala orang yang bersalah mengakui kesalahannya dan orang yang benar memaafkan? Hingga ada yang berkata, “Hubungan yang lahir sesudah terjadinya problem, adalah hubungan yang lebih kuat daripada hubungan apapun selainnya.”

**

Kesalahan yang tidak kita akui, akan terjadi dua kali

**

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’aadah Maharat wa Wasa-il, Abdurrahman bin Abdillah al-Qar’awi, hal.17-18

 

Catatan :

[1] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dan dishahihkan oleh al-Albani

>www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Akhlak

Mengesakan Allah Ta’ala Dalam Setiap Lini Kehidupan

Published

on

Mengesakan atau mentauhidkan Allah Ta’ala adalah risalah para Nabi dan Rasul, mereka diutus oleh Allah Ta’ala untuk mengajarkan umat manusia dan membimbing mereka, bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala, dan mereka dilarang untuk menyembah Tuhan-Tuhan lainnya di saat bersamaan, yaitu syirik.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS Annahl: 36)

Dan firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS Annisaa: 36)

Namun,  tidak sedikit yang mengira bahwa mengesakan Allah Ta’ala hanya pada urusan ibadah atau akhirat saja, namun pada urusan dunia mereka antara sadar atau tanpa sadar menggantungkan pengharapan mereka kepada selain Allah Ta’ala, di antaranya dalam hal rejeki, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik dengan cara yang mistis seperti pesugihan atau cara yang kriminal seperti mencuri dan korupsi, yang mana semua tindakan itu menunjukkan lemahnya iman seseorang kepada Allah Ta’ala padahal Dialah Maha Pemberi Rejeki.

Maka dari itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam peringatkan:


عَنْ أَبِي عَبَّاسٍ عَبْدِ اللهِ بنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النبي صلى الله عليه وسلم يَومَاً فَقَالَ: (يَا غُلاَمُ إِنّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : احْفَظِ اللهَ يَحفَظك، احْفَظِ اللهَ تَجِدهُ تُجَاهَكَ، إِذَاَ سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَاَ اسْتَعَنتَ فَاسْتَعِن بِاللهِ، وَاعْلَم أَنَّ الأُمّة لو اجْتَمَعَت عَلَى أن يَنفَعُوكَ بِشيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلا بِشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ لَك، وإِن اِجْتَمَعوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشيءٍ لَمْ يَضروك إلا بشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفعَت الأَقْلامُ، وَجَفّتِ الصُّحُفُ) رواه الترمذي)

Dari Abu ‘Abbas Abdullah bin ‘Abbas  Radhiallahu ‘Anhuma, beliau berkata: Suatu hari saya dibelakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Wahai ghulam, saya akan mengajarkanmu beberapa perkataan: jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu mendapatkan Dia bersamamu, jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, jika kamu menghendaki pertolongan mintalah pertolongan Allah, ketahuilah seandainya segolongan umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu, dan seandainya mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mereka tidak mampu memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah mengering tintanya. (HR. At Tirmidzi(

 

Kemudian dalam hal gaya hidup, beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berarti juga menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, seorang muslim tidak boleh mendahulukan hawa nafsunya di atas aturan agama, maka ketika itu terjadi, dia berarti sedang mempertuhankan hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?  (QS Al Jastiyah: 23)

 

Untuk itu, hendaklah seorang muslim kembali merenungi hakikat penciptaannya di dunia ini, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, dan itu tidak akan sempurna sampai dia berserah diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dan tidak bergantung kepada selain-Nya dalam segala aspek dan lini kehidupannya, karena jika tidak demikian, justru dia akan menemukan kebuntuan dalam urusannya, kesempitan dan kesusahan tak berkesudahan karena menyelisihi aturan yang dibuat oleh penciptanya, yaitu Allah Ta’ala.

 

Semoga Allah Ta’ala senantian menaungi kita dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Akhlak

Suami Rendah Hati Kepada Istri Sebagai Kunci Hidup Bersama

Published

on

 

Seorang suami seyogyanya bersikap rendah hati kepada istrinya. Artinya, agar bisa hidup bersama, seorang suami harus mempergauli istrinya dengan penuh keceriaan meskipun istrinya itu berkarakter bengkok.

Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

“Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Bila kau pergi meluruskannya, maka kau akan mematahkannya. Dan bila kau biarkan, maka ia akan terus bengkok. Maka, berwasiatlah mengenai wanita [1]

Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,

“Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Bila kau pergi meluruskannya, maka kau akan mematahkannya. Dan, membiarkannya bisa membuat kamu hidup bersama.” [2]

 

Bermuka manis (mudarah) kepada orang lain itu dianjurkan sebagai media menjinakkan jiwa dan menyatukan hati. Menyiasati istri membutuhkan kesabaran terhadap kebengkokan mereka. Dan, suami yang hanya berhasrat meluruskan istri takkan mengambil manfaat mereka. Padahal, laki-laki itu cenderung kepada wanita, dan meminta bantuannya dalam semua sisi kehidupannya. Konsekuensinya, seolah-olah menikmati istri itu takkan pernah sempurna melainkan dengan bersabar menghadapi kebengkokan istri.

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

“Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Bila kau pergi meluruskannya, maka kau akan mematahkannya. Dan biarkanlah, sebab kepadanya kesulitan dan kesusahan.” [3]

 

Suami dianjurkan menggunakan semua media yang bisa menjinakkan hati istri. Apabila ada suami yang menyangka takkan mampu menjinakkan istri, maka di samping Islam memperhatikan kemampuan suami, Islam juga memperhatikan faktor psikologis suami yang ragu tersebut. Oleh karena itu, jika ada seorang istri berduan dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain) dan tak berusaha menolak laki-laki ajnabi itu, maka Islam memperbolehkan si suami mentalak istrinya meskipun belum atau tidak terjadi sesuatu. Hal tersebut demi menjaga perasaan si suami.

Suatu saat ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasul-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan berkata : “Wahai Rasul !, istriku tidak pernah menolak tangan yang ingin memegangnya.”

“Talaklah dia, “ kata Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

“Tapi, aku amat mencintainya, “ jerit si laki-laki.

“Kalau begitu, nikmatilah dia, “ sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- [4]

Manakala Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yakin bila laki-laki itu mampu menguasai prasangkanya dan berinteraksi dengan fakta, maka beliau bersabda, “Nikmatilah dia”, karena sebenarnya wanita itu belum terjerumus ke dalam perbuatan keji. Sebab, perkataan laki-laki itu hanyalah pemberitaan mengenai istrinya yang terbiasa tidak menolak tangan yang ingin memegangnya, dan bukan memberitakan istrinya telah melakukan zina.

Di sisi lain, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memang melarang suami membiarkan sifat itu, hingga ia menjadi seorang dayyuts (tidak pencemburu). Meski begitu, manakala perbuatan itu lahir dari karakter istri, dan suami mengira istri tidak menolak semua ajakan berkhalwat (berdua-duaan) dengan laki-laki manapun, maka Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun memerintahkan agar mentalaknya.

Pun demikian, tatkala ternyata si suami amat mencintainya, maka beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memperbolehkan hidup bersama. Sungguh, terjalinnya cinta itu fakta, dan terjadinya zina itu prasangka. Di sini berlaku kaedah ‘laa yushaar adh-dhararul ‘aajil li tawahhumil aajil’, artinya, ‘tidaklah sanksi itu dijatuhkan dengan prasangka yang belum menjadi fakta.’

Suami yang tidak bisa mengalahkan prasangkanya dan mendahulukan prasangka atas fakta, maka Islam membolehkan talak, apabila memang talak menjadi sumber ketenangan batin. Sedangkan suami yang menguasai prasangka dan mendahulukan fakta, maka dialah laki-laki takwa yang mampu bersabar atas orang lemah dan kesalahan mereka. Sungguh, manusia yang paling lemah adalah istri. Dan, kesalahan yang paling banyak adalah kebengkokan istri.

 

Laki-laki  yang mampu bersabar atas kebengkokan istri adalah manusia yang paling kuat takwanya dan paling sabar terhadap orang lemah. Yang demikian itu karena dia mengharap wajah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dan mendahulukan ridha Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas ridha dirinya. Suami jenis ini memahami perintah agar menjinakan  hati istri sebagai perintah untuk menjadi seorang pemaaf. Dan, Nabi-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pun berwasiat :

“Berwasiatlah kebaikan atas wanita ! Sungguh, mereka itu adalah tawanan kamu. Dan kamu tidak memiliki dari mereka selain itu, kecuali bila mereka nyata-nyata berbuat keji. Bila mereka berbuat keji, maka jauhkanlah mereka dari ranjangmu dan pukullah dengan pukulan ringan [5]

Seorang suami harus menyadari tatkala istri berbuat keji, maka Islam telah memerintahkan agar menghukum dengan menjauhkan istri dari jimak (hubungan suami istri) dan memukulnya dengan tanpa menyakiti. Adapun kesalahan yang bukan perbuatan keji tentulah hukumannya lebih ringan. Maka, secara sadar, ia harus memudahkan dan memaafkan kesalahan tipe ini.

Di sisi lain, bila istri benar-benar melakukan perbuatan zina, maka suami boleh melaknat atau paling minim mentalaknya. Bahkan, Nabi-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memuji rasa cemburu Sa’ad.

Saad berkata : “Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku akan memukulinya dengan pedang terhunus.”

Nabi-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pun bersabda :

“Apakah kamu merasa takjub dengan kecemburuan Sa’ad. Sungguh, aku lebih pencemburu. Dan Allah itu lebih cemburu dariku.” [6]

Seorang suami harus menikmati kebengkokan istrinya dan menepis prasangkanya terhadap perbuatan istri yang lahir dari kebengkokan dan secara fakta prasangkanya itu memang tidak terjadi. Di sini, suami harus mempergauli istri di atas landasan fakta, bukan prasangka.

 

Wallahu A’lam

About Author

Continue Reading

Trending