Connect with us

Nasihat

Kesungguhan Sang Teladan

Published

on

Kesempatan berjumpa dengan 10 hari terakhir bulan Ramadhan sungguh merupakan kenikmatan yang agung. Betapa tidak, sementara  di dalamnya terdapat kesempatan untuk mendulang kebaikan yang banyak. Tepatnya pada “Lailatul Qadar” di mana Allah berfirman tentang malam itu, لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (Qs. al-Qadar: 3). Syaikh Sa’diy mengatakan,  ‘amal (shaleh) yang dilakukan pada malam itu adalah lebih baik daripada amal (shaleh) yang dilakukan selama 1000 bulan (± 83 tahun 4 bulan) yang tidak terdapat di dalamnya Lailatul Qadar (Taisiir al-Kariim ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, 1/931).

Pembaca yang budiman, maka, benar sekali apa yang disabdakan Rasulullah,

فِيْهِ لَيْلَةٌ خُيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ

Padanya (yakni, bulan Ramadhan) terdapat malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, siapa tidak memperoleh kebaikannya maka ia tidak memperoleh kebaikan yang banyak (HR. an-Nasa-i’, No. 2106). Oleh karena inilah, Rasulullah seorang Nabi yang sangat tinggi rasa kasih sayangnya kepada ummatnya, menganjurkan kepada mereka untuk mencarinya, Beliau  bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan(HR. al-Bukhari, No.  2020). Terlebih di malam-malam ganjilnya, beliau  bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan  (HR. al-Bukhari, No. 2017)

Bahkan, beliau sendiri memberikan keteladanan yang sedemikian nyata dalam hal mencari malam yang mulia ini, beliau sangat bersungguh-sungguh mencarinya. Perhatikan dengan seksama apa yang dikatakan istri beliau yang tercinta, ‘Aisyah,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ

Biasanya Rasulullah  bersungguh-sungguh pada 10 (malam) terakhir (bulan Ramadhan) tidak seperti kesungguhan beliau di selain malam-malam tersebut (HR. Muslim, No. 2845)

Di antara bentuk kesungguhan beliau, Aisyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

Bila telah memasuki sepuluh (malam terakhir dari bulan Ramadhan), biasanya Rasulullah  menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, lebih bersungguh-sungguh, dan mengencangkan sarungnya (HR. Muslim, No. 2844)

Menghidupkan malamnya, yakni, menghabiskannya dengan bergadang untuk melakukan shalat dan yang lainnya.

Bembangunkan keluarganya, yakni, membangunkan mereka agar mereka melaksanakan shalat di malam tersebut.

Lebih bersungguh-sungguh, yakni, mengerahkan segenap daya upaya untuk beribadah dengan lebih bersungguh-sungguh dari biasanya. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 8/71)

Mengencangkan sarungnya, Abdurrahman as-Suyuthi mengatakan, ‘ada yang mengatakan maksudnya adalah bahwa hal tersebut merupakan ungkapan tentang kesungguhan upaya dalam beribadah lebih dari kebiasaan yang dilakukannya di waktu-waktu lainnya. Makna ungkapan tersebut adalah bergadang untuk beribadah… ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kiasan “menjauhkan diri dari wanita/istri untuk menyibukkan diri dengan berbagai macam bentuk ibadah. Al-Qurthubi mengatkan, ‘yang ini lebih utama karena telah disebutkan sebelumnya tentang kesungguhan (beliau) dalam mengerahkan daya dan upaya (untuk beribadah) (ad-Diibaaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 3/264)

Hal ini diperkuat dengan tindakan beliau berupa i’tikaf yang juga menunjukkan bentuk kesungguhan beliau dalam upaya mencari Lailatul Qadar.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy, ia berkata, sesungguhnya Rasulullah pernah beri’tikaf pada 10 malam pertama bulan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf pada 10 malam pertengahan  bulan Ramadhan dengan menempati sebuah qubbah turkiyah (tenda yang berukuran kecil terbuat dari bulu domba dan yang sejenisnya) yang alasnya adalah tikar.  Abu Sa’id al-Khudriy berkata, “beliau menarik tikar tersebut ke arah tenda dengan menggunakan tanggan beliau sendiri (setelah berada di dalam tenda) kemudian beliau mendongakkan kepalanya untuk berbicara kepada khalayak. Orang-orang yang berada di dalam masjid kemudian mendekat ke arah beliau. Setelah itu, beliau bersabda,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيْتُ فَقِيْلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ

Sungguh aku pernah beri’tikaf pada 10 malam pertama (bulan Ramadhan) dengan maksud untuk mencari malam ini (yakni, Lailatul Qadar-pen), kemudian aku beri’tikaf pada 10 malam pertengahan (bulan Ramadhan). Kemudian aku didatangi (Malaikat) lalu dikatakan kepadaku, sesungnguhnya malam itu (yakni, Lailatul Qadar) terdapat pada 10 malam terakhir (bulan Ramadhan). Oleh karena itu, barangsiapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf hendaknya ia ber’itikaf (yakni, pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan). Abu Sa’id al-Khudriy berkata, (mendengar penuturan Rasulullah  tersebut) maka orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan)…(HR. Muslim, no. 2828)

Pembaca yang budiman, maka, seyogyanya setiap muslim bersungguh-sungguh pula dalam upaya mencari malam yang lebih baik daripada seribu bulan ini dengan menghidupkan malamnya, bergadang untuk melakukan berbagai bentuk ibadah kepada Allah baik berupa shalat, membaca al-qur’an, dzikir dan doa dan bentuk aktivitas ibadah dan amal shaleh yang lainnya dalam rangka meneladani sang teladan terbaik, yaitu Muhammad.  Baik, ia tengah dalam kondisi beri’tikaf di masjid ataupun tidak. Karena sesungguhnya kesempatan untuk meraih Lailatul Qadar tersebut Allah berikan kepada orang yang tengah beri’tikaf maupun orang yang sedang tidak beri’tikaf. Namun, tidak berarti bahwa orang yang beri’tikaf dengan orang yang tidak beri’tikaf sama saja dalam hal keutamaan perbuatan. Hal demikian karena orang yang beri’tikaf lebih utama dari orang yang tidak beri’tikaf dari sisi bahwa orang yang beri’tikaf melaksanakan amal yang disyariatkan, ia melaksanakan sunnah Nabi, meneladani beliau yang biasa melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

‘Aisyah –semoga Allah meridhainya- salah seorang istri Nabi meriwayatkan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwa Nabi biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian para istrinya beri’tikaf juga sepeninggal beliau (HR. Al-Bukhari, no. 2026). Ibnu al-Mundzir mengatakan,”dan mereka (para ulama) sepakat bahwa i’tikaf merupakan sunnah, tidak wajib (hukumnya) atas manusia, melainkan apabila seseorang mewajibkan dirinya sendiri (untuk melakukannya) karena bernazar, maka (dalam kondisi ini) wajib atas orang tersebut untuk beri’tikaf (al-Ijma’, hal.53)

Adapun dari sisi perbuatan ‘itikaf itu sendiri, maka tidak ada hadis Nabi yang valid yang menjelaskan tentang keutamaannya. Abu Dawud di dalam “masa-il”-nya mengatakan, ‘aku pernah bertanya kepada Ahmad (yakni, Imam Ahmad bin Hambal), “Anda mengetahui sesuatu (hadis)  tentang keutamaan i’tikaf?  ia menjawab, “ tidak”, kecuali sesuatu (hadis/riwayat) yang lemah (Masa-il Abi Dawud, hal. 96).  Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda tentang “orang yang beri’tikaf”,

هُوَ الَّذِيْ يَعْكُفُ الذُّنُوْبَ وَيُجْرَى لَهُ مِنْ الحَسَنَاتِ كَعَامِلِ الْحَسَنَاتِ كُلِّهَا

Dia adalah orang yang tengah menahan diri dari dosa, diberikan kepadanya (pahala) kebaikan-kebaikan seperti orang yang melakukan kebaikan-kebaikan seluruhnya (HR. Ibnu Majah, dalam kitab “al-‘itikaf”, bab : Fii Tsawabi al-‘Itikaf (keutamaan I’tikaf), hadis No. 1781), al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, 7/523, dari jalur periwayatan Ubaidah al-‘Amiy dari Farqad as-Subkhiy dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas secara marfu’. Al-Bukhari di dalam tarikhnya (7/131) menyebutkan, (jalur periwayatan) Farqad Abu Ya’qub as-Subkhiy dari Sa’id bin Jubair di dalam hadisnya adalah munkar. Sedangkan (perowi yang bernama) Ubaidah al-‘Amiy, Ibnu Hajar di dalam at-Taqrib 1/247 mengatakan tentang perowi ini, (dia adalah seorang perowi) yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya). Dan, al-Baihaqi di dalam asy-Syu’ab mengisyaratkan kepada kelemahannya. Al-Bushiry di dalam az-Zawa-id juga melemahkannya. (Fiqhu al-I’tikaf, 1/148). Wallahu a’lam.

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak Anda-wahai saudaraku, kaum muslimin di manapun Anda berada- baik Anda yang sedang beri’tikaf maupun yang tidak, marilah kita bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dikaruniakanNya kepada kita berupa “berjumpa dengan 10 hari terakhir bulan Ramadhan kali ini” dengan cara meningkatkan kesungguhan sebagaimana yang dicontohkan sang teladan seperti menghidupkan malamnya dengan berbagai bentuk aktivitas ketaatan kepada Allah sehingga harapan kita untuk mendapatkan Lailatul Qadar terwujud dan berhasil mendulang kebaikan yang banyak. Semoga Allah memberikan taufiq. Aamiin

 

Referensi :

  1. Al-Qur’an dan tarjamah maknanya
  2. Ad-Diibaaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abdurrahman bin Abi Bakr Abu al-Fadhl as-Suyuthiy
  3. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abu Zakariya yahya bin Syaraf bin Mary an-Nawawi.
  4. Fiqhu al-I’tikaf, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih.
  5. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhariy
  6. Shahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburiy
  7. Taisiir al-Kariim ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di

Sumber :  Bulletin an-Nuur, Th. XVIII No. 1076/Jum`at IV/Ramadhan 1437 H/ 24 Juni 2016 M

Amar Abdullah

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

About Author

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Sugono Galih

    11/07/2016 at 18:20

    Rasulullah tauladan untuk Kita semua, trims infonya..

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Pengharaman Zina Secara Khusus

Published

on

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengharamkan perbuatan keji secara umum, dan zina secara khusus. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengingatkan manusia tentang dosa zina dengan begitu tegas dan menjelaskannya dengan sejelas mungkin.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (28) قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ [الأعراف : 28 ، 29]

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui ?” Katakanlah, “Rabb-ku menyuruh menjalankan keadilan..” (al-A’raf : 28-29)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ  [الأعراف : 33]

Katakanlah, “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi…” (al-A’raf : 33)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ  [الأنعام : 151]

Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi…(al-An’am : 151)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ  [النحل : 90]

Sesungguhnya Allah memerintahkan (kepada kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran (al-Nahl : 90)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan ancaman yang sangat keras kepada orang-orang yang suka menyiarkan dan menyebarluaskan perbuatan keji di tengah-tengah kaum muslimin.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ  [النور : 19]

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita bohong) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalang orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui (an-Nur : 19)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menerangkan bahwa para penyeru dan penghias perbuatan keji ini sebagai setan.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ  [البقرة : 268]

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kekejian, sedang Allah menjadikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia … (al-Baqarah : 268)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga menjelaskan bahwa hobi para pengekor syahwat ini adalah memalingkan dan menyesatkan manusia, kemudian menyeret mereka ke dalam perbuatan keji ini. Tentang mereka Allah berfirman :

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا  [النساء : 27]

Dan Allah hendak menerima taubat kalian, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran) (an-Nisa : 27)

**

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Bahtsu fi Qaulihi Ta’ala : Walaa Taqrabuz Zina, Musthafa al-Adawi, ei, hal. 15-18

About Author

Continue Reading

Nasihat

Saat Idul Fitri Menjelang **

Published

on

Saat Idul Fitri Menjelang

**

Terakhir, inilah perasaan seorang muslim di pagi hari raya Idul Fitri. Ia menuturkan :

“Aku ingat pagi hari Idul Fithri, kutemui anak-anak yang yatim. Tidak ada yang mau mencium mereka. Bahkan sekedar memberikan senyum untuk mereka. Aku ingat di pagi hari Idul Fithri aku bersama para janda, yang tidak bisa lagi merasakan kelembutan, juga kerinduan kepada suami mereka. Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita semua menikmati hidangan makanan enak dan minuman segar yang dapat menghilangkan lapar.

Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita berkumpul bersama dari semua umur, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sementara ada saudara kita (semisal di Palestina) yang waktunya terampas oleh peperangan. Tak ada kenyamanan, ketenangan dan rasa aman. Hari raya mereka hanyalah linangan air mata, kesedihan serta kenangan seperti dipenjara.

Pada saat  yang sama aku mengenakan baju baru, mengunjungi sanak-kerabat di sana-sini, menikmati makanan dan minuman…aku tertawa dan bercanda.

Tetapi, perasaan sebagai satu bagian utuh sebuah tubuh dan rasa persaudaraan tumbuh kuat dalam diriku. Aku tak akan melupakan mereka. Kalaupun aku tertawa, ada guratan duka menoreh wajahku. Lisanku bergetar melantunkan doa bagi mereka. Aku pun menceritakan keadaan mereka kepada keluarga dan tetanggaku.

Lisanku selalu berdoa untuk mereka, dimana keluarga dan tetanggaku menggunjingkan mereka…

Dalam Shahih Muslim disebutkan :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

‘Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih sayang dan kecintaan mereka ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh mengadu kesakitan maka semua anggota tubuh yang lain akan ikut demam dan terjaga semalaman.’

Barang siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan ini kembali kepada dirinya sendiri ; barang siapa yang tinggi cita-citanya maka kebaikan akan mengikutinya; namun  barang siapa yang rendah cita-citanya maka kehinaan akan selalu mengikutinya…

Kusucikan cita-citaku dari apa-apa yang dilarang Allah

Menuju bulan yang khusyuk dengan berbekal kekhusukan,

bulan yang suci, dengan bekal amal sholeh…

Orang-orang yang berpuasa dengan istiqamah

akan mendapatkan tempat yang kekal dan didampingi bidadari yang menyenangkan

Penuh ampunan dari yang Maha Agung dengan kekuasaan-Nya yang besar

Wahai saudaraku, segeralah bangkit beramal

sebelum Ramadhan pergi

Semoga Allah Yang Maha Pengasih menghapus semua dosa-dosaku

dan mengampuni kesalahanku sebelum di buku kejelekanku…

Amin

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Ruhaniyyatush Shiyam, Dr. Ibrahim ad-Duwaisy, ei, hal. 49-51.

About Author

Continue Reading

Nasihat

Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran **

Published

on

Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran

**

Ar-Rusyd adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.”

**

Ar-Rusyd adalah tujuan ketiga di antara tujuan-tujuan disyariatkannya puasa, dan salah satu rahasia diwajibkannya puasa. Allah ta’ala berfirman di akhir ayat-ayat puasa :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ  [البقرة : 186]

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah : 186)

Kebenaran yang merupakan salah satu buah puasa, dinilai sebagai sifat positif dan penting bagi kepribadian seorang muslim, yang memberinya keseimbangan jiwa, pikiran, perasaan, dan emosi, serta membebaskannya dari segala fenomena yang memperburuk kepribadian insan modern yang tidak tumbuh berkembang di sela-sela al-Qur’an dan tidak mengikuti hukum-hukumnya, sehingga kepribadiannya terserang kelemahan, kepolosan, kelalaian, egoisme, atau kesedihan, seperti yang dituturkan oleh Dr. Shalah al-Khalidi.

Ayat ini mengandung penjelasan tentang jalan yang mengantarkan kepada kebenaran, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada Allah ta’ala, dan memenuhi perintah-Nya, termasuk di antaranya berpuasa Ramadhan.

Ada yang mengatakan, ar-Rusyd adalah istiqamah di dalam agama.

Fenomena-fenomena Kebenaran yang Diwujudkan Puasa

Di antara fenomena-fenomena kebenaran adalah istiqamah di dalam agama dan tetap berada di atas agama. Dan di antara fenomena-fenomena kebenaran yang diwujudkan puasa bagi seorang muslim adalah :

Pertama, kebenaran penglihatan. Kebenaran ini terwujud dengan menundukkan dan menahan penglihatan untuk leluasa memandang segala hal yang tercela atau terlarang, dan juga hal-hal yang dapat menyibukkan dan melenakan hati dari mengingat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Kebenaran ini terwujud dengan berlama-lama menatap al-Qur’an dengan membaca dan merenungkannya, serta menahan penglihatan dari memandang apa yang Allah haramkan, agar tidak menciderai puasa.

Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Dengan apakah aku bisa menundukkan pandangan dengan mudah ?’ Al-Junaid menjawab, ‘Dengan kau mengetahui bahwa Allah melihatmu, di mana penglihatan-Nya kepadamu lebih cepat dari penglihatanmu kepada objek yang engkau lihat.”

“Menundukkan penglihatan dari apa yang diharamkan Allah, akan mendatangkan cinta Allah.” (al-Hasan bin Mujahid)

Kedua, kebenaran lisan. Kebenaran ini terwujud dengan menjaga lisan dari kata-kata ngelantur tidak jelas, dusta, adu domba, ghibah, tutur kata kotor, kasar, permusuhan, dan perdebatan, tetap diam, menyibukkannya dengan dzikir menyebut Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an. Ini merupakan puasanya lisan.

Kebenaran ini muncul sebagai dampak alami yang didapatkan siapa yang selalu membasahkan lisannya dengan mengingat Allah, membiasakannya jauh dari segala kata dan ucapan-ucapan yang dapat melukai puasanya. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ

Pada hari ketika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan janganlah (pula) berteriak-teriak (HR. al-Bukhari)

“Puasa itu tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan diri dari dusta, kebatilan, kata-kata sia-sia, dan sumpah.” (Umar bin Khaththab- رًضِيَ اللهُ عَنْهُ)

Ketiga, kebenaran telinga. Kebenaran ini terwujud dengan mencegah telinga dari mendengar apa saja yang dibenci Allah karena apa saja yang diharamkan diucapkan, haram pula didengarkan. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik bagi siapa yang terbiasa mendengarkan al-Qur’an dan nasihat-nasihat di bulan Ramadhan, serta mendengarkan segala yang membawa manfaat dari kebaikan, juga menutup telinga dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.

“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa.” (Jabir bin Abdillah-رًضِيَ اللهُ عَنْهُمَا)

Ketiga, kebenaran otak. Kebenaran ini terwujud dengan meraih ilmu dan pengetahuan, serta menyibukkan otak dengan ibadah merenungkan nikmat-nikmat dan makhluk-makhluk Allah, serta menggunakannya untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik mendalami perkara-perkara agama, khususnya puasa, semangat mendengarkan ceramah dan pelajaran. Juga sebagai buah baik menggunakan akal dalam merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca dalam kitab-Nya, dan merenungkan ayat-ayat yang nampak nyata di alam semesta-Nya.

Ummu Darda’ ditanya, ‘Apakah amalan terbaik Abu Ad-Darda’ ?” Ia menjawab, “Berpikir dan memetik pelajaran.”

“Berpikir itu cahaya, lalai itu kegelapan, kebodohan itu kesesatan, dan ilmu itu kehidupan.” (Orang bijak)

Keempat, kebenaran tubuh. Kebenaran ini terwujud dengan tidak memperbanyak makan meski halal sekalipun, dan menahan diri dari segala syubhat yang mubah manakala Allah memerintahkannya, karena tujuan dari puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan syahwat hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi kuat untuk bertakwa.

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثُ طَعَامٍ وَثُلُثُ شَرَابٍ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ

Cukuplah beberapa suap makan bagi anak Adam untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika pun harus menambah, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk  minuman, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Imam Ahmad)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.42-45.

 

 

 

About Author

Continue Reading

Trending